BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah
agama yang menyeimbangkan antara aspek lahiriyah dan batiniyah. Nabi Muhammad
SAW. diutus untuk menyampaikan risalah Islam. Beliau tidak pernah menunjukkan
sikap-sikap yang lebih menekankan salah satu dari dua aspek tersebut. Selain
islam mengajarkan umatnya untuk menyeimbangkan kedua aspek tersebut, islam juga
menjadikan keduanya hal yang sama-sama penting dalam menjalani kehidupan dunia.
Sebagai aspek
yang sama-sama penting dalam ajaran Islam, telah terjadi pergeseran ke arah
formalisme dan legalisme serba lahir yang menimbulkan reaksi serba batin.
Orang-orang yang lebih mementingkan aspek-aspek syari’ah, persoalan
halal-haram, intelektualisme-rasional, materialisme, dan legalisme, mewakili
golongan lahiriah. Sementara bagi orang-orang yang lebih mementingkan
rasa-hati, dan nilai-nilai batin, masuk dalam golongan batiniah. Tasawuf atau
sufisme, berawal dari gerakan batiniah tersebut. Gerakan ini berusaha
mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta dengan memanfaatkan media-media
yang serba batin dan rahasia tersebut.
Sebelum Islam
datang ke Indonesia, agama Islam telah mengalami perkembangan yang gemilang.
Dalam bidang penalaran, umat Islam telah sanggup mewarisi dan memanfaatkan
pemikiran dan falsafah Yunani, untuk memperkuat perkembangan ijtihad, baik
dalam hukum Islam, ilmu kalam, falsafah dan sebagainya. Dalam mistik Islam atau
tasawuf, umat islam juga telah berhasil mengembangkan penghayatan dan
pengalaman mistik yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam makalah ini, akan
sedikit mepaparkan tentang apa, bagaimana dan contoh praktek-praktek mistik
dalam islam kebatinan.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah yang dimaksud kejawen?
2.
Bagaimanakah seajarah dan pengaruh
masuknya Islam di Jawa?
3.
Bagaimanakah ragam aliran dan mahdzab
Islam masuk Jawa?
4.
Bagaimanakah mistis Jawa dalam Islam
kebatinan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kejawen
Kata kejawen dalam kamus besar bahasa indonesia
berasal dari kata kejawaan dan jawanisme, yang menjadi sebutan deskriptif bagi
elemen-elemen kebudayaan jawa yang dianggap jawa secara hakiki dan hal itu
didefinisikan sebagai suatu kategori yang unik. Jadi Kejawen adalah suatu faham
orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam
agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui
mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Jawanisme atau kejawen lebih menunjuk pada sebuah etika
dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran jawa, Sehingga seketika
sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam praktek beragama. Misalnya dalam
praktek mistisisme, pada hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik yang
secara kultural condong pada kehidupan yang mengarasi keanekaragaman religius.
Misalnya, masyarakat di jogjakarta banyak yang menjalankan kewajiban agama
islam secara sungguh-sungguh dan dari segi manapun mereka memenuhi nsyarat
untuk disebut santri. akan tetapi, mereka tetap orang jawa yang membicarakan
kehidupan dalam perspektif mitologi wayang, atau menafsirkan sholat lima waktu
sebagain pertemuan pribadi dengan tuhan, banyak dari merekapun menghormati
selametan sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting, atau sangat
memulyakan kewajiban, menziarahi makam orang tua, dan leluhur mereka. Lebih
dari itu, dalam pengertian etis, mereka akan menempa diri sama seriusnya dengan
orang jawa yang mana saja untuk menjadi ikhlas, yakni ketulusan niat. Hal ini
ada kaitannya dengan pemahaman jawa untuk sepi ing pamrih, yakni tidak
diarahkan oleh tujuan-tujuan egoistik, menempatkan kepentingan orang lain
diatas kepentingan diri sendiri.
Begitulah kejawen sejauh yang kita ketahui saat ini jelas-jelas merupakan sebuah produk dari pertemuan antara islam dengan peradaban jawa kuno, produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan jawa oleh kongsi dagang hindia timur (VOC), hasil dari pertemuan kolonial antara orang jawa dan belanda. Gesekan-gesekan itu, memaksa orang jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan yang lebih penting lagi, memecu konstruksi sebuah jati diri jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan (othernes) sehingga lama kelamaan pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri >< abangan, jawa >< eropa, dan dunia timur oriental >< barat yang materialistik.
Begitulah kejawen sejauh yang kita ketahui saat ini jelas-jelas merupakan sebuah produk dari pertemuan antara islam dengan peradaban jawa kuno, produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan jawa oleh kongsi dagang hindia timur (VOC), hasil dari pertemuan kolonial antara orang jawa dan belanda. Gesekan-gesekan itu, memaksa orang jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan yang lebih penting lagi, memecu konstruksi sebuah jati diri jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan (othernes) sehingga lama kelamaan pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri >< abangan, jawa >< eropa, dan dunia timur oriental >< barat yang materialistik.
Sebagai sebuah sistem pemikiran, jawanisme atau kejawen itu cukup
rumit dan luas meliputi:
a.Kosmologi berasal dari bahasa yunani yaitu kosmos yang berarti susunan atau ketersusunan yang baik. Kosmos merupakan dunia ( universe ). Orang Jawa memandang alam terdiri dari empat unsur, yaitu:
a.Kosmologi berasal dari bahasa yunani yaitu kosmos yang berarti susunan atau ketersusunan yang baik. Kosmos merupakan dunia ( universe ). Orang Jawa memandang alam terdiri dari empat unsur, yaitu:
a) Api merupakan emosi. Contohnya di gunung
berapi
b) Air merupakan roh. Contohnya di pantai parang
tritis
c) Tanah merupakan dari mana kita (manusia)
diciptakan.
d) Angin merupakan perasaan.
e) Kebudayaan Jawa mengajarkan hubungan yang
harmoni antara makrokosmos (alam raya), mikrokosmos (alam manusia), dan
metakosmos (kekuatan ghaib). Contohnya keraton jogja.
Hubungan antara mikrokosmos (jagat cilik) dengan makrokosmos (jagat
gede) sangat erat. Masyarakat dahulu selalu menjaga ketertiban alam semesta
(jagat gede) dengan melalui penjagaan terhadap jagat cilik (akhlak dan
spiritual) manusia.
b.Mitologi adalah ilmu tentang mitos. Mitos adalah cerita suci berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan atas kodrati, manusia, pahlawan, dan masyarakat.
Ciri-ciri Mitos:
a) Memiliki sifat suci atau sakral, karenanya
terkait dengan tokoh yang sering dipuja.
b) Dijumpai dalam dunia mitos bukan dalam dunia
kehidupan sehari-hari atau pada masa lampau yang nyata.
c) menunjukan pada kejadian kejadian larangan
tertentu.
d) Kebenaran mitos tidak penting.
Macam-macam mitos :
1.
Mitos berupa gugoh tuton yaitu
mitos yang berupa larangan-larangan tertentu.
2.
Mitos berupa bayangan
asosiatif yaitu mitos yang biasanya muncul dalam dunia mimpi
3.
Mitos yang berupa dongeng,
legenda, dan cerita-cerita yaitu mitos yang diyakini karena memiliki legitimasi
yang kuat dalam alam pikiran masyarakay Jawa
4.
Mitos yang berupa sirikan yaitu
mitos yang Bernafas asosiatif, tetapi tekanan utama pada aspek ora ilok.
Contoh mitos populer masyarakat jawa:
1.
Mitos Semar Tokoh satu ini
selalu ditinggikan dalam segala hal yang menyangkut tata hidup kehidupan jawa
2.
Mitos Dewi Sri Dewi Sri oleh
orang jawa diyakini sebagai dewa padi. Dia adalah pembawa berkah dalam bidang
pertanian.
3.
Mitos Nyai Ratu Roro Kidul Patokan
keraton Yogyakarta bahwa ratu kidul adalah sosok kekuaan magis yang patut
dipuja.
4.
Mitos Aji SakaOrang jawa
menganggap Aji Saka yang madhangake kawruh, artinya yang menaburkan kepandian
kepada orang jawa
c. MistisismeKata mistisme berasal dari bahasa yunani yaitu mystikos
yang artinya rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman.
Sedangkan secara istilah mistisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang
serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia,
tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal,
diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali
penganutnya. Salah satu contoh upacara adat Jawa yang mengandung hal mistis adalah
ruwatan. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu ghaib
protektif,yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit
dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya, yang sering kali menggunakan
mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dan bencana.
B.Islam
Masuk Pulau Jawa
Tanah asal agama Islam adalah Arab, khususnya dari Madinah dan
Mekah. Agama Islam menyebar keluar dari Jazirah Arab pada umumnya melalui jalur
darat. Oleh karena itu, kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara baru tiga per
empat milenium kemudian setelah agama ini lahir di Jazirah Arab. Agama Islam
masuk Kepulauan Nusantara melalui perdagangan, dan bukan melalui misi
pengembangan agama.
Agama Islam dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Persia
(Iran sekarang), dan Gujarat (di pantai barat India). Perdagangan itupun tidak
dibawa langsung dari Arab atau Persia ke P. Jawa, melainkan secara beranting
dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya sampai di Malaka. Dari
Semenanjung Malaka inilah akhirnya agama Islam sampai di Jawa, khususnya di
sepanjang pesisir utara Jawa, dari Banten (di bagian barat P. Jawa) hingga
Gresik (di bagian timur P. Jawa). Oleh karena itu, agama Islam yang masuk ke
Kep. Nusantara ini merupakan produk sejarah masyarakat di negara-negara yang
dilaluinya selama 750 tahun -termasuk pergulatan antar pemeluk ajaran Islam di
tanah kelahirannya.
Pedagang-pedagang yang berasal dari Arab, Persia dan Gujarat itu
pada umumnya memeluk agama Islam yang beraliran Syi’ah, karena sejak permulaan
abad XII aliran ini berkembang di Persia dan Hindustan. Selain itu, aliran ini
mendapat dukungan dari pemerintahan Bani Fathimiyah di Mesir yang berpegang
pada aliran Syi’ah. Pada pertengah abad XIII (1268) dinasti Fathimiyah jatuh,
sehingga dukungan terhadap aliran Syi’ah tidak ada lagi. Namun, Persia dan
Hindustan ternyata merupakan tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya
aliran ini.
Meskipun agama Islam telah memperoleh tempat baru yang subur di
Semenanjung Malaka dan Sumatra pada abad XIII, tapi agama ini baru bersemi di
pesisir utara Jawa pada abad XV. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Ma Huan
dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405
– 1406, agama Islam belum tampak dipeluk oleh penduduk asli di P. Jawa, dan
yang mereka laporkan adalah agama dan adat-istiadat Jawa.
Tuban dan Surabaya sebagai kota pelabuhan strategis, pada abad XV
menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni oleh keturunan Tionghoa. Agar
hubungan dagang antara Tiongkok daratan dengan Jawa lancar, maka diangkatlah
kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423 dan di Surabaya pada 1447.
Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal di Tuban, dan mereka juga
banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat
setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat setempat. Dan, menurut Ma Huan,
kebanyakan penduduk Cina yang tinggal di kota-kota ini memeluk dan menaati
aturan agama Islam.
Jadi, bila di awal abad XV masyarakat asli masih memeluk dan mempraktikkan
adat-istiadat Jawa, namun pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran
pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di
kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina
dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad XV Pemerintah Tiongkok memihak pada
Pemerintah Kerajaan Majapahit meski keadaan di Majapahit mulai goyah karena
perebutan kekuasaan dari dalam. Juga dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina
pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh
masyarakat setempat.
Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir
Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja
pertamanya adalah Raden Patah (bentuk keliru dari Fatah yang berarti Wijaya).
Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati
yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut
sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama
Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan
yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara
para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga
adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya
sendiri-sendiri. Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip
agama ageming aji.
Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan
dharma ajaran Islam.
C. Ragam Aliran
dan Mazhab Islam yang Masuk Jawa
Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa aliran Islam yang dibawa
oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat adalah aliran Syi’ah. Dan,
tampaknya aliran ini cukup lama bertahan di Nusantara, dan di Jawa khususnya,
sehingga peninggalan aliran ini masih dilestarikan hingga sekarang di berbagai
daerah di luar maupun di Jawa. Pembuatan bubur Suro pada tanggal 10 Suro
(Muharram) di berbagai daerah merupakan wujud nyata warisan aliran Syi’ah.
Berbagai upacara adat untuk memperingati Imam Husain di bebagai daerah di Jawa
juga merupakan peninggalan Syi’ah.
Aliran Syi’ah juga terdiri dari banyak subsekte atau mazhab-mazhab,
dari yang sangat berorientasi pada syariat hingga yang lebih menekankan pada
ajaran kebatinan. Dan, kelihatannya golongan Syi’ah yang dapat dengan mudah
bertemu dengan pandangan dan dharma yang dijalankan oleh orang Jawa adalah
Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula klawan Gusti.
Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan
emanasi atau percikan sinar Ilahi. Ajaran inilah yang “klop” dengan dharma yang
dilakukan oleh orang Jawa yang memandang manusia sebagai “titah” (sabda) Sang
Hyang Taya atau Tuhan yang tidak dapat digambarkan seperti apa pun seperti yang
dinyatakan dalam Qs. 41:11.
Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran
Sunni bermazhab Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi-
namun sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu menjalankan ajaran Islam Syiah.
Oleh karena Syekh Siti Jenar sebagai guru agama yang termasyhur diduga oleh
penguasa Demak sebagai pengikut Aliran Syi’ah, maka Syekh dijerat pasal hukuman
tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa
Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (dharma
Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patah semakin menguat.
Alasan lain untuk mengeliminasi Syekh Siti Jenar adalah karena dia
menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo
Kenongo alias Ki Pengging (penguasa daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden
Patah dalam kelanjutan tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya. Ajaran
Syekh Siti Jenar ini mempunyai pengaruh besar di masyarakat Islam di Jawa
-khususnya Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah
terhadap kerajaannya yang masih muda umurnya itu. Jadi, sebenarnya bukan ajaran
Syekh Siti Jenar itu yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan
ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran MKG
(Manunggaling Kawula-Gusti). Contohnya, sampai hari ini makrifat MKG yang
berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.
Di era pasca kemerdekaan ajaran MKG dari Sunan Kudus ini
disebarluaskan oleh Ki Ageng Nitiprana (wafat 23 Desember 1991). Dewasa ini
ajaran MKG dari Sunan Kudus tersebut disebarkan dalam tiga sistem, yaitu sistem
MKG yang dibungkus syariat, sistem MKG yang menekankan ajaran hakikat, dan
sistem MKG yang diajarkan melalui lintas agama. Ketiganya berkembang di Jakarta
dan dari ibu kota NKRI ini menyebar ke seantero Nusantara. Berbeda dengan MKG
yang berasal dari Sunan Kudus, ajaran MKG dari Syekh Siti Jenar diajarkan
melalui kelompok-kelompok kecil yang sifatnya tertutup atau agak tertutup.
Bahkan kelompok-kelompok itu tidak menggunakan wadah yang secara terbuka
dilabeli ajaran MKG Syekh Siti Jenar. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka
menghindari sensitivitas masyarakat sekitarnya.
Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki
untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara
perlahan-lahan mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam mazhab
Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii
pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah
masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan
praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.
Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar yang egaliter dan berpegang pada
pluralisme dalam dharma itu dibasmi habis-habisan, namun pergulatan ajaran yang
disebut Islam Jawa ini tetap eksis di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga
yang di satu sisi sebagai penasihat Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun
di sisi lain dia adalah guru bagi Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya
dapat mendirikan Kesultanan Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru
Amartani.
Keahlian politik Ki Juru Amartani yang akhirnya dapat mengembalikan
kelanjutan tahta Majapahit (yang di kemudian hari menjadi Mataram Islam)
dengan masa transisi Kesultanan Pajang di bawah Sultan Adiwijaya. Dengan kata
lain, runtuhnya Kesultanan Demak merupakan bangkitnya kembali dharma Islam yang
di kemudian hari dikenal sebagai Islam Kejawen atau Kejawen. Namun, jalannya
sejarah ternyata tidak mulus dan bahkan menghadapi jalan-jalan terjal. Mataram
yang baru tumbuh itu dihadapkan pada banyaknya kadipaten yang masih setia pada
Kesultanan Demak, sehingga Mataram muda disibukkan dengan penaklukan Demak,
Madiun, Kediri, Pasuruan dan Gresik.
Pada 1613 Raden Mas Rangsang ditabalkan sebagai sultan di Mataram
dengan gelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Saidin Panatagama, yang
juga dijuluki sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Beberapa tahun
sebelum dia diangkat sebagai sultan, tepatnya pada 1611, Gubernur Jendral Both
(Belanda) memperoleh sebidang tanah dari Pangeran Jayakarta. Pada 1619 Jan
Pieters Zoon Coen berhasil membangun benteng di Jayakarta dan daerah tersebut
diubah namanya menjadi Batavia. Setelah Sultan Agung dapat menyatukan Jawa Tengah
dan Jawa Timur di bawah kekuasaan Mataram pada 1628, maka Belanda yang bercokol
di Batavia dianggapnya sebagai ancaman kedaulatan Mataram. Upaya Sultan Agung
menaklukkan Batavia pada 1628 dan 1629 gagal.
Setelah gagal menaklukkan Batavia, Sultan mencoba melakukan
konsolidasi ke dalam dan mencoba mempertemukan berbagai aliran dan mazhab Islam
di Jawa. Salah satu upaya tersebut ialah diubahnya kalender Jawa Saka yang
berdasarkan peredaran Matahari menjadi kalender Jawa Islam yang berdasarkan
peredaran rembulan. Perubahan perhitungan tahun ini dilakukan pada 8 Juli 1633
dan bertepatan dengan 1 Suro 1555 tahun Alif. Selanjutnya, perhitungan
didasarkan pada 1555 JI tersebut. Sultan Agung banyak melakukan akulturasi dan
asimilasi budaya spiruitual.
Ketika Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung, Belanda (VOC) tidak
berani turut campur terhadap Mataram. Namun, VOC telah melakukan penaklukan dan
pendekatan terhadap raja-raja yang belum tunduk pada kekuasaan Mataram. Ketika
Sultan Agung wafat pada 1646, dan digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat I,
VOC melakukan perjanjian damai dengan Mataram. Berdasarkan perjanjian yang
dibuat pada tahun 1646 itu, VOC berjanji akan membantu Mataram bila Mataram
berperang dengan pihak yang menjadi musuh Kompeni.
Akhirnya, sejak permulaan abad XVIII Mataram benar-benar jatuh ke
tangan Kompeni dan praktis semenjak Sunan Amangkurat II raja-raja Mataram
berada di bawah kekuasaan Kompeni. Di lain pihak Batavia terus berkembang
pesat, dan masyarakat Arab dan Cina di Batavia mendapatkan perlindungan yang
kuat. Dengan demikian, orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji
benar-benar berada di bawah pengawasan Belanda. Sejak abad XVIII Aliran Islam
mazhab Syafii yang dibawa oleh jemaah haji dari Jawa semakin menyebar di
seantero P. Jawa. Sebagaimana dungkapkan di atas, ajaran Islam mazhab Syafii
mudah bertemu dengan pola pikir Jawa.
Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga Keraton Surakarta abad
XVIII, melukiskan ketegangan dalam kehidupan keagamaan orang-orang Jawa setelah
adanya kontak dengan orang-orang Islam pembela syariat. Salah satu contoh karya
tulis R. Ng. Yasadipuro I yang menggambarkan konflik dalam kehidupan beragama
itu adalah Serat Cabolek. Dalam serat ini dilukiskan adanya konflik
antara ulama pembela syariat Islam dengan mereka yang menolak ajaran syariat
Islam sembari tetap memegang ajaran mistik Jawa. Tokoh sentral dalam serat ini
adalah Ketib Anom dari Kudus yang membela syariat dan Haji Ahmad Mutamakin yang
tinggal di Cabolek, Tuban, yang mengajarkan ilmu hakikat. Pada waktu itu ulama
di Keraton Kartasura pro syariat, yang sebenarnya Haji Mutamakin bisa mengalami
nasib yang sama yang dialami Syekh Siti Jenar maupun Sunan Panggung; namun
Sunan Pakubuwana II memaafkannya.
D. Pengertian mistik dan islam kebatinan
Kata mistik berasal dari bahasa Greek (Yunani) “ Mysticos” yang artinya
rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman.[1][1] Sedangkan
dalam bahasa Arab, Persia dan Turki, kata mistik itu bahasa yang utama dalam
islam, yang berkaitan dengan istilah sufi. Kedua istilah itu memang tidak
mengandung arti yang sama. Sebab istilah sufi memiliki konotasi yang religius dan khas. Dan biasanya
digunakan secara terbatas yakni untuk
menyebut mistik yang dianut oleh para pemeluk agama islam.[2][2]
Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “mistik” artinya hal-hal gaib yang terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[3][3]
Bertitik tolak dari arti kata tersebut kemudian mistik berkembang menjadi
sebuah paham, yaitu mistisisme (paham mistik). Mistisisme sebagai paham dapat
dikatakan sebagai paham yang memberikan ajaran mistis, ajarannya berbentuk
rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam
kelemahan. Ajaran-ajarannya hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh
orang-orang tertentu saja, terutama para penganutnya.[4][4]
Van Haeringen barpendapat bahwa paham mistik itu pada dasarnya mengajarkan
kepercayaan adanya kontak antara manusia bumi dengan Tuhan, persatuan mesra
antara ruh manusia dan Tuhan. Ini berarti mistik mengajarkan kepada hal-hal
yang rahasia dan hal-hal yang tersembunyi.
Sedangkan mistisisme menurut A.S.Hornby yaitu ajaran atau kepercayaan bahwa
hakekat iman dan Tuhan dapat dicapai melalui meditasi atau pancaran spiritual,
terlepas dari pikiran dan akal sehat.
Paham mistik ditinjau dari materi ajarannya terdiri dari dua macam paham,
yaitu:
1. Paham yang
bersifat keagamaan, adalah mengajarkan tentang mistik yang berkaitan dengan
Tuhan dan Ketuhanan-Nya, hubungan atau persatuan antar manusia dengan Tuhan.
2. Paham non
keagamaan, adalah tidak mengajarkan tentang pengertian Tuhan dan Ketuhanan-Nya.
Paham ini lebih menekankan pada ajaran tentang sopan santun, akhlak atau etika.
Selain itu juga mengajarkan tentang pengobatan dengan gaya-gaya ghaib,
peramalan nasib atau pernujuman, kekebalan atau kesaktian.[5][5]
Sedangkan kata
“ kebatinan” berasal dari bahasa
Arab “ba-tin” yang artinyadi dalam, bagian dalam. Dalam bahasa Indonesia
mendapat imbuhan ke – an, jadi kebatinan, artinya bagian yang tertutup yang berada di dalam.[6][6] Ditinjau dari makna, kebatinan mempunyai
bermacam-macam pengertian, yaitu:
1. Di dalam “Ensiklopedia
Umum”Kebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk
mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
2. Di dalam buku ‘Ensiklopedia
Pendidikan” karya Prof. DR. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Kebatinan adalah sumber rasa dan
kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[7][7]
Maka dari itu, islam kebatinan adalah islam
yang bersifat dan yang menonjolkan aspek-aspek batiniyah.
E. Mistik jawa dalam islam kebatinan
Pengertian mistik jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan jawa.
Mistik jawa merupakan sikap hidup keagamaan orang jawa, karena kenyataannya
mistik jawa dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi semacam agama orang
jawa yang bersifat mistik. Adapun mistik jawa dalam islam kebatinan yaitu
mistik yang dilakukan seseorang untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan
Allah SWT. yang dilakukan dengan cara tertentu sesuai dengan tradisi jawa dan
syari’at islam yang tujuan utamanya adalah bisa berkomunikasi dan mencapai
maqam tertentu di sisi Allah SWT.
Lahirnya pustaka islam kejawen atau islam kebatinan membawa dampak yang
cukup besar bagi perkembangan keagamaan masyarakat jawa. Ajaran tasawuf
mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat Jawa. Pustaka jawa
yang merupakan cermin pengolahan jawa atas mistik yang datangnya dari luar,
baik itu Hindu-Budha atau Islam semua mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan.
Mistik jawa dalam islam kebatinan terlihat dalam sikap hidup orang jawa
yang menekankan pada hidup batin, seperti: sikap rela, narima, legawa, waspada,
sabar, eling, dan seterusnya. Sikap hidup tersebut hampir diajarkan oleh semua
aliran kebatinan. Selain itu juga, terdapat paham kesatuan kawula-Gusti
(wahdatul wujud) yang merupakan pengaruh ajaran mistik islam yang hampir semua
aliran kebatinan mengajarkannya.
Kebatinan atau kejawen merupakan salah satu varian dari agama islam yang
ada di Jawa, kebatinan merupakan sinkretis antar unsur-unsur pribumi jawa,
Hindu-Budha dan Islam. Ritus mistik orang jawa adalah slametan, suatu perjamuan
sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga
dengan alam raya dipulihkan kembali. Slametan merupakan nilai sakral bagi
masyarakat Jawa, dilakukan sejak menyambut kelahiran bayi, khitanan, pernikahan
sampai orang meninggal. Slametan yang pada masa pra-islam banyak menggunakan
tradisi mistis mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, setelah
islam datang, banyak cukup dengan do’a-do’a yang dipanjatkan seorang rais
(modin) dan bacaan-bacaan ayat al-Qur’an dianggap telah syah.[8][8]
Contoh ritual atau praktek-praktek yang bersifat mistik dalam islam
kebatinanMistik jawa dalam islam kebatinan menganjurkan laku spiritual untuk
mencapai maksud, tujuan atau cita-cita. Menurut Ranggawarsita ada beberapa
ritual atau praktek-praktek untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Tapa atau
semedi
Adalah penarikan diri sementara dari minat kepada dunia
lahir, yang caranya adalah duduk lurus berdiam diri mutlak dan mengosongkan
diri dari semua isi dunia sejauh mungkin.[9][9] Dalam bertapa
mempunyai beberapa makna, yaitu:
a. Laku prihatin.
Ciri laku spiritual ini adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati
yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani spiritual
ini, tidak akan pernah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan
spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa bertapa
bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
b. Bertapa sebagai
sarana penguatan batin. Dalam hal ini bertapa merupakan bentuk latihan untuk
menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu
dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian,
mampu berkomunikasi dengan yang ghaib-ghaib. Intrpretasi pertama dan kedua di
atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik
yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Jalan mistik sebagaiman
lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha
mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Illahi
dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar.
c. Bertapa sebagai
ibadah. Bagi Ranggawarsita yang menjalankan syari’at islam, puasa seperti ini
dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah islam dalam
bentuk syari’at, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.[10][10]
Dari penjelasan makna tapa atau semedi di atas, ada beberapa jenis atau
macam dari tapa atau semedi, diantaranya yaitu:
a) Tapa ngeli, yaitu bertapa dengan menghanyutkan diri di air. Tujuannya
untuk meraih maqom tertentu.
b) Tapa ngrame, yaitu bertapa dengan siap berkorban atau menolong siapa
saja dan kapan saja. Tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan kedilan dan
beramal sosial.
c) Tapa mendem, yaitu bertapa dengan menyembunyikan diri di dalam tanah
seperti mayat. Tujuannya adalah untuk menghayati mati sajroning urip.
d) Tapa kungkum, yaitu bertapa dengan menenggelamkan diri dalam air sebatas
leher di sungai atau danau tertentu. Tujuannya untuk meraih maqom rohani
tertentu.
e) Tapa gantung, yaitu bertapa dengan menggantung di pohon seperti kera.
Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.[11][11]
2. Pasa
Menurut Ranggawarsita kata “ pasa” hampir dapat dipertukarkan dengan kata
tapa, karena pelaksanaan tapa selalu
dibarengi dengan pasa. Adapun pasa adalah Menahan diri dari rasa lapar
dan haus serta berprilaku prihatin.Dalam pemaknaan pasa dalam masyarakat
jawa tidak jauh berbeda dengan pemaknaan tapa, yaitu Puasa sebagai simbol
keprihatinan dan praktek asketik, puasa sebagai sarana penguat batin dan puasa
sebagai ibadah.
Adapun macam-macam pasa adalah sebagai berikut:[12][12]
a. Pasa ramadhan,
yaitu puasa wajib dalam bulan ramadhan. Tujuannya untuk memebersihkan diri dari
dosa dan mencapai derajat taqwa.
b. Pasa ngerawat,
yaitu berpuasa hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam. Tujuannya agar rohani
kita kuat Dan punya kekuatan magis.
c. Pasa pati geni,
yaitu berpuasa dengan berpantang makan-makanan yang dimasak memakai api atau
geni selama sehari-semalam. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
d. Pasa ngebleng,
yaitu berpuasa dengan tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam.
Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
e. Pasa mutih,
yaitu berpuasa dengan hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut. Tujuannya
untuk meraih maqom rohani tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo Doyodipuro, KRHT, Horoskop Jawa, Semarang: Dahara
Prize, 2006.
Magnis-Suseno SJ, Franz, ETIKA JAWA Sebuah analisa
Falsafi tentang kebijaksanaan hidup jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Mulder Niels, Mistisme Jawa: Ideologi di Indonesia,
Yogyakarta: PT LKIS Prinding Cemerlang, 2001.
Maulfi Syaiful Rizal, Pandangan Dunia Jawa, http://Pandangan-dan-Mitologi Jawa.
Diakses Senin,1 Maret 2013 pukul 19.00 Ramadhan, Ruwatan,
http://worldmysteryhouse.blogspot.com/2010/08/ruwatan.html,
diakses Rabu, 3 Maret 2012 pukul 2:22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar