“Rumi dan
Tarekat Maulawiyyah”
Makalah ini
disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah
“Madzhab Tasawuf”
Dosen
Pengampu :
Ahmad Sauqi, S.Ag,M.pd.I
Disusun Oleh:
KELOMPOK 8
Nurul ‘Ainiyah (2833133043)
Rohma Nurhayati (2833133053)
Tasawuf Psikoterapi IV B
Fakultas Ushuluddin,
Adab, dan Dakwah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah yang berjudul “Rumi
dan Tarekat Maulawiyyah”. Shalawat serta salam
semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW suri
tauladan, penegak keadilan dan kebenaran.
Makalah ini kami
ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Tasawuf Sosial”. Selesainya penyusunan
makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1.
Bapak Dr. Maftukin, M.Ag,
selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
menuntut ilmu di IAIN Tulungagung.
2.
Bapak Ahmad Sauqi, S.Ag,M.pd.I selaku dosen pengampu mata
kuliah madzhab Tasawuf yang telah membimbing
dan mengarahkan kami dalam proses pembelajaran mata kuliah ini.
3.
Juga kepada teman-teman kami
yang telah membantu tugas ini, semoga tali persahabatan kita tersimpul erat
sampai kapan pun.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan
oleh penulis. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini berguna bagi para
pembaca.
Tulungagung, 5 Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman sampul...................................................................................................
i
Kata Pengantar…………………………………………………………………
ii
Daftar Isi………………………………………………………………………..
iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………
1
A. Latar Belakang………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………1
C. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………. 3
Biografi Jalaluddin Rumi……………………………………………………….. 3
Sejarah tarekat Maulawiyah …………………………………………………….. 6
Syamsi Tabrizi…………………………………………………………………. 12
Sumber-Sumber Spiritual Rumi ………………………………………………... 16
Rumi Dan Ibnu Arabi …………………………………………………………... 17
BAB III PENUTUP……………………………………………………………
22
Kesimpulan…………………………………………………………………….. 22
Saran …………………………………………………………………………… 22
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………… 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarekat
yang secara harfiah berarti jalan kecil, memiliki dua pengertian yang berbeda,
yang pertama tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju Tuhan dalam
konteks ini kita berbicara tentang maqamat, yang kedua tarekat dipahami sebagai
“persaudaraan” atau ordo spiritual, yang biasanya merupakan perkumulan
spiritual yang dipimpin oleh seorang guru (mursyd) dan para khalifahnya. Dalam
pengertian inilah yang dimaksud tarekat Maulawiyah.
Nama Mawlawiyah berasal dari kata
“Mawlana” (guru kami) yaitu gelar yang diberikan oleh murid-muridnya kepada
Muhammad Jalal al-Din Rumi, seorang sufi penyair terbesar sepanjang masa.
Tarekat ini didirikan 15 tahun sebelum wafatnya. Walaupun tarekat ini tidak
terlalu besar dibanding dengan tarekat Naqsyabandi tetapi tarekat ini masih
tetap hidup hingga sekarang.
Dalam makalah ini, kami akan membahas
tentang biografi Jalaluddin Rumi, sejarah tarekat Maulawiyah, Syamsi Tabrizi,
sumber-sumber spiritual Rumi serta perbedaan Rumi dan Ibnua Arabi.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah biografi
Jalaluddin Rumi?
2.
Bagaimanakah sejarah
tarekat Maulawiyah?
3.
Siapakah Syamsi
Tabrizi?
4.
Apa sajakah
sumber-sumber spiritual Rumi?
5.
Bagaimanakah perbedaan
Rumi dengan Ibnu Arabi?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui biografi
Jalaluddin Rumi.
2.
Mengetahui sejarah
tarekat Maulawiyah.
3.
Mengenal Syamsi
Tabrizi.
4.
Mengetahui
sumber-sumber spiritual Rumi.
5.
Mengetahui perbedaan
Rumi dengan Ibnu Arabi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Jalaluddin Rumi
Rumi lahir di Balkh, Afghanistan pada
604 H atau 30 September 1207 M. Mulanya Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin
Muhammad bin Muhammad Al Balkhi Al Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena
sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein,
adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya
penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. dan merekapun melancarkan fitnah
dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi
baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin hidup berpindah-pindah dari satu
negara ke negara lain. mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari
Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan
terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah
Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan perguruan
tinggi agama yang didirikan di ibu kota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi
wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya Rumi juga
berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq At Turmudzi,
sahabat dan penganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam
(Suria) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 636 H, dan
ikut mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
mengantikan sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas di
samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu
banyak ulama berkumpul di Konya. Tidak heran jika Konya kemudian menjadi pusat
ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai
ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah
seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang memiliki banyak murid, 4000
orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan umatnya
untuk bertanya dan mengadu. Kehidupan itu berubah seratus delapun puluh derajat
ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin atau Syamsi
dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi
mengajar di hadapan khalayak banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang laki-laki asing yakni Syamsi Tabriz ikut bertanya, “Apa yang
dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” mendengar pertanyaan seperti itu Rumi
terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak
mampu menjawab, akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul
beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Walad, putra Rumi, mengomentari
perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi
seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya,
meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataanya. Dalam
diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihanya untuk berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya yang telah ikut berperan mengembangkan emosinya,
sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair yang himpunannya kemudian
dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz.
Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya dan buku itu dikenal dengan nama Maqamat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan
sumber inspirasi baru, syaikh Hisanuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan
sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil
menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi (Matsnawi). Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait
syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang
disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot dan lain-lain. bahkan
Masnavi sering disebut Quran Persia.
Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat
(sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa ; merupakan himpunan ceramahnya
tentang metafisika), dan Maktubat
(himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisanuddin pula, Rumi
mengembangkan Tarekat Maulawiyyah
atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat
dikenal dengan nama The Whirng Dervishes
(para Darwisy; yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat
ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.[1]
Semua menusia tentu akan kembali kepada-Nya
demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan,
karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit
keras. Meskipun demikian, pemikiran Rumi masih menampakan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendoakan, “Semoga Allah berkenan
memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan”. Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi
kematian ada juga yang kafir dan pahit”.
Pada tanggal 5 Jumadil akhir 672 H atau
17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala
jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk sepat berdesak-desakan ingin
mengantar kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (malam penyatuan). Sampai
sekarang para pengikut Tarekat Maulawiyyah masih memperingati tanggal itu
sebagai hari wafatnya beliau.[2]
B. Sejarah Tarekat
Maulawiyyah [3]
Tarekat berasal dari bahasa Arab ﻪﻘﻳﺮﻃ yang berarti garis sesuatu,
jalan, dan bisa juga bermakna keadaan. Tarekat juga berarti jalan atau cara
untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat)
dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. Dalam hal ini sufi melakukan
latihan-latihan dalam bidang kerohanian.
Cikal bakal tarekat muncul pada
abad ke-4 yang dipelopori oleh Abu Said Al Muhari yang mendirikan tempat-tempat
penginapan yang dikelola secara khusus yang kemudian diubah menjadi markas
sufisme. Kemudian mulai menyebar di Irak, Mesir dan Maroko.
Tarekat dapat diamalkan secara
perorangan, tetapi biasanya merupakan suatu lembaga. Pada mulanya tarekat
merupakan perkumpulan orang sufi yang berdiri spontan dan tanpa ikatan.
Kemudian berkembang menjadi organisasi sufi dengan peraturan-peraturan tertentu
ke berbagai wilayah-wilayah Islam. Hingga sekarang jumlah tarekat yang ada
lebih dari 200 buah. Hal ini terjadi sejak sekitar abad ke-9 H. Sedangkan
Tarekat Maulawiyah sendiri muncul sebelum itu, yakni sekitar abad ke-7 H di
Persia. Salah satu sumber terpenting dalam sejarah awal tarekat ini adalah
karya-karya Rumi.
Selain karya-karya tulisannya, ada
satu hal yang juga merupakan sumber terbentuknya Tarekat Maulawiyah, yaitu sama’, yang meliputi musik, nyanyian dan
tarian spiritual. Jika dilihat dari riwayat kehidupan Rumi sebagai pendiri
tarekat ini, tarian spiritual muncul sejak terjalinnya hubungan spiritual yang
terjadi antara dua sahabat karib, al-Rumi dan Syamsuddin.
Selama enam bulan mereka bersama
akhirnya dapat mengubah kehidupan Rumi sepenuhnya. Dan setelah peristiwa
kehilangan Syamsuddin, Rumi menyelenggarakan pertemuan-pertemuan sama’ untuk mengenang Syamsuddin. Dari
pertemuan-pertemuan sama’ inilah
akhirnya terbentuk sebuah lembaga tasawuf yang memiliki ciri tarian berputar
yang dipimpin oleh Rumi, yaitu Tarekat Maulawiyah.
Menurut Syaikh H. Jalaluddin dalam
bukunya Abu Bakar Aceh, Tarekat Maulawiyah merupakan salah satu dari 41 macam
tarekat yang sudah diakui kebenarannya di Indonesia. Selain itu juga merupakan
tarekat besar keempat yang lahir dan tumbuh di Turki, setelah Tarekat
Qadiriyah, Tarekat Suhrawardiah dan Tarekat Syadziliyyah. Tarekat ini berpusat
di Turki dan awalnya berkembang di daerah sekitarnya. Seni yang ada di dalamnya
membuat Tarekat Maulawiyah mempunyai pengaruh besar dalam lingkungan Istana
Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun 1648 M.
Pada masa sekarang, Tarekat
Maulawiyah paling banyak ditemui di Anatolia, Turki dan perkembangan terakhir
ada di Amerika Utara. Pada tahun 1925 M, kegiatan sama’ dalam Tarekat Maulawiyah di Turki sempat dilarang. Tetapi
sekitar tahun 1954 M, sama’
diperkenankan kembali. Awalnya, sama’
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi akhirnya bisa mendatangkan
kekaguman oleh banyak penduduk Turki yang disebabkan oleh unsur-unsur yang
terdapat di dalamnya sampai mencapai ekstase.
Banyak ahli mistik klasik yang
diilhami dari musik darwis Tarekat Maulawiyah ini. Kenyataannya,
lagu-lagu terbaik dari musik klasik Turki banyak digubah oleh seniman-seniman
yang mempunyai hubungan dengan Tarekat Maulawiyah. Ahli-ahli kaligrafi dan
miniatur pun banyak yang tergabung dalam anggota darwis Maulawiyah. Tarekat
ini melengkapi masyarakat Turki dengan karya-karya seni muslim yang pernah
diciptakan. Pengaruh Jalaluddin Rumi telah menjadi daya kekuatan hidup dalam
perkembangan mistisisme kesusastraan dan seniman Turki.
C. Syams At Tabrizi
Syams merupakan salah seorang figur misterius
dan penuh teka-teki dalam tasawuf, sehingga Sulthan Walad mempersamakan dirinya
dan Rumi bagaikan Nabi Khidir dan Musa. Publikasi terhadap karya Syams yaitu Maqalat, mampu menyingkirkan spekulasi
yang menyatakan bahwa dirinya adalah tokoh dari dunia ghaib. Syams mengatakan
bahwa dirinya pertama kali berjumpa dengan Jalaluddin Rumi lima belas atau enam
belas tahun sebelumnya di Suriah, ketika Rumi berada disana untuk belajar
(sekitar 630-34 H/ 1233-37M). Dia menceritakan pengalaman spiritual yang pernah
dialaminya saat masih kecil yang menyebabkan dirinya memisahkan diri dari
pergaulan masyarakat luas. Saat ayahnya mempertanyakan kelakuan yang aneh itu,
dia membandingkan dirinya sebagai anak itik yang menetas diantara ayam-ayam. “Jadi,
ayah, aku menyaksikan samudra, dan samudra itu telah menjadi gunungku, itulah kampung
halaman dan keadaan spiritualku. Jika diriku adalah milikmu atau dirimu adalah milikku,
terjuni samudra itu jika tidak tetaplah tinggal bersama ayam-ayam”[4].
Tentang ayahnya, dia selalu berkomentar bahwa ayahnya adalah orang baik dan
memiliki kemuliaan tertentu, tetapi beliau bukanlah pecinta tuhan. Seorang yang
baik adalah satu hal, sedangkan seorang pecinta adalah perkara yang lain sama
sekali”.
Menurut Syams, dirinya dibimbing untuk
berjumpa dengan Rumi melalui sebuah mimpi. Diceritakan bahwa Rumi menyadari
kedatangan Syams dan menjumpainya. Mereka duduk saling berhadapan di depan
sebuah toko, tanpa mengucapkan sepatah katapun, akhirnya Syams bertanya
kepadanya tentang perbandingan maqam Nabi dangan Abu Yazid al Basthami, yang
dijawab oleh Rumi dengan menjelaskan superioritas yang tak terbandingkan dari
seorang nabi. Mereka berangkulan dan “larut bagai gula dalam susu”. Selama enam
bulan mereka tak terpisahkan dan jalan hidup Rumi berubah sepenuhnya. Transformasi
ilahiah yang terjadi ini disadari oleh seluruh kota. Terutama ketika dia
menanggalkan jubah keutamaannya, berhenti mengajar dan berkhutbah, dan mulai
mengahadiri kegiatan sama’ secara
teratur. Sulthan Walad menceritakan, saat Syams mengundang Maulana Jalaluddin Rumi
menghadiri sama’ dalam bentuk khusus,
“Maulana menjadikan hal itu sebagai mazhab dan ortodoksinya (ra’yid durus) dan hatinya mekar mejadi
ratusan taman”. (Walad-namah, 17).[5]
Rumi menyingung perubahan yang
dijalaninya antara lain dalam bait berikut:
Dahulu, jemariku senantiasa
menggenggam Al Quran, tetapi kini ia menggengam kendi cinta.
Dahulu, mulutku penuh dengan
pujian, tetapi kini, ia hanya melantunkan puisi dan nyanyian (D 24875-76).[6]
Kesetian Rumi kepada Syams menimbulkan
kecemburuan kepada sejumlah pengikutnya. Akhirnya timbul kondisi yang membuat
Syams pergi meningalkan Konya setelah tinggal selama enam belas bulan. Dalam
kepedihanya, Rumi menarik diri dari semua orang. Para muridnya segera menyadari
betapa mereka lebih terasing dari dirinya dibandingkan dengan sebelumnya. Saat
sepucuk surat yang dikirim Syams dari Suriah tiba, Rumi mengirim kepadanya
sebuah ghazal yang melukiskan
keadaanya setelah ditinggal pergi oleh Syams:
Tanpa kehadiranmu, sama’ adalah terlarang,seperti halnya
setan, pesta adalah kutukan.
Tanpa kehadiranmu tak satu pun ghazal yang ku perolehkan; ketika pesan
mu datang, lima atau enam bait telah aku ciptakan karena kegembiraan dalam
mendengar (sama’)-nya (D 18457-59)[7]
Rumi mengutus Sulthan Walad pada Syams,
yang pada akhirnya kembali menetap di Konya sampai 645H-1247-48 M, ketika Syams
menghilang. Menurut salah satu laporan tertua yang kini diterima oleh
akedemisi, Syams dibunuh oleh para murid merasa cemburu. Keterlibatan ‘Alauddin,
putra Rumi sendiri, dalam pembunuhan itu dapat menjelaskan hubungan ayahnya
yang amat dingin dengan dirinya bahkan Rumi menolak menghadiri pemakamannya saat
dia meninggal 658 H/1260 M. Namun, Rumi tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa
dia berpikir bahwa Syams telah meninggal dan tidak mengasingkan diri seperti
halnya yang terjadi saat pertama kali kehilangan Syams, sebagai gantinya, dia
mencurahkan diri pada sama’ dan
melantunkan nyanyian kepedihan hati dan kerinduan. Dua kali ia berangkat ke
Damaskus, berharap menemukan Syams disana. Pada perjalanan yang kedua, sekitar
dua tahun setelah lenyapnya Syams, dia mengambil kesimpulan bahwa Syams hanya
akan dapat ditemukan didalam dirinya sendiri. Meminjam kata-kata sultan Walad;
Dia berkata, “meski secara jasad
aku terjauh kan darinya, tanpa tubuh dan ruh, kami berdua salah satu cahaya….”
Karena aku adalah dia dan dia
adalah aku, mengapa aku harus mencari lagi? Kami adalah satu. Kini, aku akan
bernyanyi tentang diriku sendiri”. (Walad-namah,
60-61).[8]
Banyak
bait puisi yand ditulis sendiri oleh Rumi menggambarkan identifikasi serupa.
Untaian doa bagi Syams harus dipandang sebagai doa bagi jiwanya sendiri.
Syams Tabrizi kenyataannya adalah
sebuah dalih akulah yang memamerkan moleknya kelembutan tuhan, aku.
Untuk menyelubuhinya, kukatakan
kepada orang-orang, “Dia adalah raja mulia, diriku hanyalah pengemis
belaka……….”
Diriku musnah dalam keindahan
Syams dalam kemusnahan ini, tidak pernah ada dia atau aku (D 16532-35).
Manusia seperti apakah Syams ini?
Pertanyaan ini perlu dilontarkan oleh orang yang sezaman dengannya, dengan nada
yang dapat membuat orang dapat mengatakan bahwa ribuan bait yang ditorehkan Rumi
semata-mata demi menjawab pertanyaan seperti ini mesti ia biasanya
menyembunyikan sisi mistis sifat Syams. Syams sendiri sangat menyadari bahwa
masyarakat menganggap penampilannya dan kelakuannya aneh, bahkan di luar adat.
Wajar bila orang-orang ini kurang
biasa dengan bicaraku. Semua kalimatku keluar dalam modus keagungan (kibriya’) sehingga nampak seperti
pernyataan yang tidak berdasar. Kalimat-kalimat Al Quran dan Nabi Muhammad
mengalir dalam modus kebutuhan (niyaz)
sehingga mereka menjelma sebagi makna (ma’na).
Oleh karena itu, masyarakat yang mendengar kata-kataku yang mengalir bukan pada
modus “pencairan atau kebutuhan” kata-kataku sedemikian tinggi sehingga untuk
melihatnya, engkau harus menengadahkan kepala hingga topimu terjatuh. (Maqalat, 14).[9]
Pernyataan semacam itu telah menyinggung
perasaan para pengikut Rumi yang biasa bersikap lugas, namun Syams tidak
menunjukkan rasa terkejut atas kehadirannya terhadap Rumi: “Tiada bahwa
seseorang telah menjadi sahabatku adalah terasa dingin pahitnya persahabatan
dengan yang lain bukan dalam taraf yang memungkinkan persahabatan dengan orang
lain terus berlanjut meski telah dingin, melainkan dalam taraf yang sedemikian
rupa sehingga ia tak mampu lagi bersahabat selain denganku (Maqalat, 75). Syams amatlah menyadari
ketinggian spiritual Rumi dan memandang wajar bahwa Rumi sendiri semestinya
menyadari kedudukannya: “Aku tak punya urusan apapun di dunia ini dengan orang
awam – Aku tidak datang demi mereka. Aku menjadi teman setia bagi siapapun yang
menuntun dunia kepada tuhan”. (Maqalat,
84).[10]
Dari apa yang telah ditekankan dalam
kutipan sebelumnya bagian-bagian lain dalam Maqalat,
jelaslah bahwa Syams tidak mengklaim dirinya sebagai pembimbing spiritual
Jalaluddin Rumi dalam pengertian umum – Rumi sudah merupakan penyelam mutiara
yang hebat sebelum Syams mencari dirinya. Nyatanya, Syams secara emplisit
menyatakan bahwa tidak ada hubungan guru-murid, murid dan para pencinta tuhan dalam
jalan spiritual, gaya yang dipergunakan berbeda dengan ghazal dalam Diwan, yang
memang kebanyakannya disusun sebagai ekspresi terhadap persepsi spiritual tanpa
persiapan terlebih dahulu. Puisi dalam Diwan
berkenaan dengan segenap periode perkembangan spiritual Rumi setelah datangnya
Syams, sedangkan Matsnawi muncul
bagai kesaksian intensional sang wali yang telah mencapai derajat tertinggi
kesempurnaan seorang manusia dan telah kembali ke dunia untuk membimbing
manusia ke Tuhan.
D. Para Pengikut Rumi
Terdapat dua orang sahabat Jalaluddin Rumi
yang layak dibahas secara khusus. Syaikh Shalahuddin Zarkub (W. 657 H/ 1258 M),
seorang pandai emas, yang tanpa pendidikan formal menjadi murid Muhaqqiq
Tirmidzi dan memiliki seorang putri yang menjadi istri Sulthan Walad. Dua atau
tiga tahun setelah menghilangnya Syams, dia menjadi sahabat terdekatnya Rumi
sampai akhir hayatnya. Dirinya merupakan objek puji-pujian dalam lebih dari
lima puluh ghazal Rumi. Husainuddin
Chalibi (W. 683 H/ 1284-85M) menjadi kawan terdekat Rumi setelah kematian
Shalahuddin. Dia telah menjadi murid kesayangan selama beberapa tahun, ketika
Syams hidup di Konya, dia diberi tugas penting untuk melayani keperluan Syams
dan bertindak sebagai mediator bagi orang-orang yang ingin menemuinya. Sebuah ghazal bertanggal (D 1839) sudah
didedikasikan baginya sejak Dzulqa’dah 654 H/ November 1256 M dan para
akademisi modern telah menyusun bukti kuat yang memperlihatkan bahwa Matsnawi – yang didekasikan dan
didiktekan kepada Husainuddin – mulai dibuat sekitar delapan belas bulan
sebelum kematian Shalahuddin.
Pada
672H/1273M, ketika hampir menyelesaikan buku keenam Matsnawi – yang memang telah diumumkan sebagai buku terakhir –
kesehatan Rumi mulai menurun dengan serius. Para tabib tidak dapat menemukan penyakit
yang menyerangnya. Dia pergi meniggalkan dunia fana dengan Matsnawi yang tidak terselesaikan. Salah satu dari ghazal terakhirnya, yang diselesaikan di
ranjang kematian, dimulai dengan baris berikut :
Bagaimana mungkin engkau dapat
mengetahui raja seperti apakah sahabat batinku itu? Jangan memandangi wajahku
yang pucat pasi ini, karena sesungguhnya diriku memiliki kaki terbuat dari
baja! (D1426).[11]
Saat kematian Rumi, Husamuddin
adalah khalifahnya, murid tertinggi, yang memangku jabatan untuk memimpin
urusan-urusan tarekat itu. Meskipun demikian, dia mendatangi Sultan Walad dan
memintanya untuk menggatikan ayahnya menjadi pembimbing spiritual tertinggi.
Berdasarkan penuturannya sendiri, Sultan Walad menjawab sebagai berikut:
Selama
masa hidup ayahku, engkau adalah khalifahnya tidak ada perubahan sedikit pun sampai
kini.
Engkau
adalah pemimpin dan aku adalah pengikut; sang raja sendiri telah
memperlihatkannya kepada kami.
Dirimu
adalah khalifah kami dari awal hingga akhir, pemimpin dan syaikh bagi kami di
dalam dua alam. (Walad Namah, 123)
Husamuddin menjadi guru tertinggi
tarekat ini sampai akhir hayatnya sepuluh tahun kemudian. Setelah itu para
murid berkumpul mengelilingi Sultan Walad dan mentasbihkannya menjadi
penggantinya. Dia memimpin upaya perluasan besar-besaran dengan mengirim
khalifah ke berbagai penjuru Anatolia. Dirinya pun mengodifikasikan ritus serta
peraturan dalam berpakaian dan bertingkah laku khas Maulawiyah. Karyanya, Diwan, tiga Matsnawi, dan kumpulan ceramah, memang dnegan cara apa pun tidaklah
mungkin disejajarkan dengan karya ayahnya, tetapi memberikan klarifikasi yang
amat penting dan apa adanya terhadapa banyak ajaran Rumi. Ajaran Rumi menyatakan
bahwa salah satu tujuan penyusunan Matsnawi
pertamanya (690H/1291M) adalah menjelaskan pencapaian spiritual dan perbuatan
menakjubkan orang-orang yang hidup “pada masa kita sendiri”, seperti halnya Matsnawi ayahnya yang berupaya
melukiskan apa yang telah diperbuat generasi sebelumnya. Dia menggaris bawahi
pula bahwa Syamsuddin, Shalahuddin, Husamuddin kurang dikenal, tetapi akan
menjadi terkenal berkat penuturannya. Tepatlah jika dikatakan bahwa karyanya
merupakan salah satu sumber terpenting bagi sejarah awal tarekat ini, yang
hanya disamai oleh Risalah karya Sipahsalar
dan Manaqib al Arifin karya Aflaki
(keduanya ditulis pada 718-19H/1318-19M).
Mengenai Sultan Walad, Rumi
berkata, “Engkau adalah manusia yang paling mirip denganku secara fisik maupun
karakter (khalq wal khulq)” (Walad-namah,3), dan orang sering salah
sangka, mengira mereka berdua adalah kakak adik. Sesungguhnya, kontribusi
terpenting Sultan Walad bagi Maulawiyah adalah pewaris kualitas kemanusiaan
ayahnya: setelah kematian Sultan Walad pada 712H/1321M, tiga orang putranya
(Arif Chalabi, w. 719H/1319M, Abid Chalabi, w. 729H/1329M, dan Wajid Chalabi,
w. 733H/133M) mengikuti jejaknya menjadi pimpinan tarekat, sedangkan putrinya,
Muthaharah Khatun, adalah ibu bagi syaikh selanjutnya. Kecuali dua putra Abid
Chalabi dan putra Muthaharah, seluruh
pemimpin tarekat sampai belakangan ini merupakan keturunan Arif Chalabi (yang ibunya
berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain adalah putri Shalahuddin Zarquk).
Sangatlah tidak mungkin untuk
menyajikan bahwa sekadar pembahasan singkat mengenai perluasan dan pengaruh
tarekat Maulawiyah selanjutnya dalam tulisan ini. Cukuplah untuk mengatakan
bahwa tarekat Maulawiyah memainkan peranan besar dalam sejarah kekaisaran Utsmaniah
secara spiritual, kultural, dan politik. Perkembangan kesenian musik Turki
berhubungan erat “ritus” Maulawiyah (‘ain)
dan banyak ahli kaligrafi terbesar Turki merupakan anggota tarekat ini.
Kesusastraan Turki banyak berutang pada syair-syair berbahasa Persia karya Rumi,
dalam hal gaya maupun tema. Penyair terkemuka semacam Mehmed Esad Ghalib (w
1218H/1799M) hanya dapat dimengerti dari sudut pandang Matsnawi. Peranan politi tarekat ini amat terlihat selama masa Sultan
Selim III (1789-1808), yang sekaligus merupakan darwis Maulawiyah dengan bakat
musik yang menelurkan sebuah komposisi ‘ain.
Pancaran cahaya Rumi ridak dapat
dihalangi oleh sekat-sekat yang dibuat kekaisaran Utsmaniah yang diperlihatkan
dengan gamblang oleh A. Schimmel, membahas pengaruh Rumi sama saja dengan
membicarakan perkembangan kesusastraan dalam semua bahasa dunia Islam terbesar
selain bahasa Arab dan penyebaran tarekat secara umum. Mayoritas umat Islam
dalam sastra sosial dan pendidikan senantiasa menghargai keindahan puisi dan
kesenian yang mengiringinya seperti musik dan kaligrafi. Dari Turki sampai India,
di mana pun peninggalan ini dihargai, Rumi tetaplah menjadi figur sentral.
E. Sumber-Sumber Rumi
Menurut Schimmel, karya-karya Rumi yang
refleksi dalam puisi-puisi dan gagasan-gagasan Rumi, mulai Al Quran dan Hadits,
dan pengaruh sufi-sufi terdahulu. Selain tokoh-tokoh yang memiliki peranan
begitu penting dalam memberi bentuk pada segenap formulasi ajaran sufi
berikutnya, seperti al Ghazali, tampaknya dapat dilihat adanya dua pengaruh
yang dominan. Pertama, pengaruh dua penyair sufi terbesar yang hidup pada masa
sebelumnya : Sana’i (W 525 H/ 1130-31 M) dan dalam tingkatan yang lebih rendah,
‘Aththar wafat sekitar 618 H/1221 M. Rumi sering memuji Sana’i, bahkan Syams
menegaskan bahwa penyair ini “amat terbebas dari pengaruh dirinya sendiri:
kata-katanya adalah kata-kata Tuhan.” (Maqalat,
156).[12]
Pengaruh dominan yang kedua berasal dari
para guru dan sahabat dekatnya sendiri, khususnya ayahnya, Bahauddin Walad, dan
Syams at Tabrizi. Karya dari keduanya mempengaruhi Rumi dalam banyak hal,
seperti yang telah diperlihatkan oleh penyunting Ma’rifat dan Ma’arif.
Yang lebih penting lagi, kedua tokoh ini telah menampakkan dalam kepribadian
masing-masing dua dimensi spiritualitas Rumi yang saling melengkapi. Ma’rifat Ma’arif karya bahauddin Walad terpengaruh oleh penekanan pada cinta
dan keindahan yang menjadi karakter Rumi dan Maulawiyah secara umum, sifat
kelembutan (luthf) dan keindahan (jamal) Tuhan merasuki keseluruhan karya
tersebut. Sebaliknya, Maqalat karya Syams
seakan mempertontonkan aspek maha pemaksa tuhan (qahr) dan keagunganNya (jalal).
Dalam sebuah karyanya, Syams menyinggung kenyataan bahwa Maulana mengunggkapkan
aspek kelembutan Tuhan, sementara dirinya sendiri memamerkan aspek kelembutan
dan kekerasan Tuhan (Maqalat, 74). Rumi
senantiasa membawa Ma’arif karya
ayahnya dan mempelajarinya hingga saat Syams melarangnya membaca kitab itu,
perbuatan Syams mungkin melambangkan keinginannya untuk memperkuat kapasitas
batin Rumi untuk sanggup memancarkan aspek keagungan dan kekerasan tuhan. Dalam
hal ini, harus diingat ajaran Rumi yang dengan jelas memperlihatkan dekatnya hubungan
antara kekerasan tuhan dan kepedihan serta kegundahan hati akibat perpisahan.
Perpisahan dengan syams mungkin sesungguhnya merupakan hal yang amat penting
agar Rumi sanggup menyadari aspek-aspek ini secara utuh. Lebih lanjut lagi,
sejumlah besar ghazal yang
menggambarkan keagungan dan kemuliaan tuhan dengangaya bahasa orang pertama
sepertinya berasal dari periode terakhir kehidupannya, ketika dia telah
sepenuhnya menyadari Syamsuddin “sang matahari agama” dalam dirinya sendiri.
Juga tepat jika disebutkan bahwa dalam ghazal-ghazal
ini, Rumi bertutur dari posisi yang jika dilihat oleh siapa pun, “topinya akan
terjatuh karena kepala yang tertengadah”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
pengaruh bahauddin Walad kepadanya bersifat “feminin”, yang pengaruh Syams
bersifat “maskulin”. Bahauddin Walad adalah ayah Rumi “secara bentuk”
(darshurah), tetapi merupakan ibunya “secara makna” (darma’na), sedangkan Syams
adalah ayah spiritual baginya.
F. Rumi Dan Ibnu Arabi
Sering dinyatakan secara eksplisit bahwa
Rumi dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dan atau pengikutnya, tetapi penilaian ini tampaknya
sebagian besar hanya berlandaskan spekulasi sehingga dapat dikesampingkan.
Memang benar bahwa Shadruddin Al Qunawi (W 673 H/1274 M), anak angkat Ibnu
Arabi sekaligus muridnya yang paling terkemuka, merupakan salah seorang sahabat
dekat Rumi, tetapi tingkat spiritual Rumi sudah terlalu tinggi untuk dapat
dipengaruhi oleh “persahabatan”, sekalipun dengan seorang syaikh besar semacam
al Qunawi (dan tidak dapat dikatakaan bahwa Al Qunawi telah dipengaruhi Rumi). Sipahsalar
menuturkan bahwa Rumi menjadi seorang “sahabat” Ibnu Arabi ketika Rumi bermukim
di Damaskus (sekitar 630-34 H/1233-37 M), dan akan sangat aneh jika sama sekali
tidak pernah ada kontak antara mereka berdua. Namun sekali lagi, masalah
pengaruh perlu didiskusikan secara terpisah denga masalah hubungan pertemanan
atau persahabatan. Bukanlah tanpa signifikansi jika bagian tertentu biografi Rumi
dan Maqalat karya Syams
memperlihatkan bahwa syaikh tarekat maulawiyah memandang rendah pada
karakteristik teosofi tersistematisasi Ibnu Arabi dan pengikutnya. Perbedaan
diantara keduanya dalam gaya pengungkapan demikian konsisten dan mendalam
sehingga tak mungkin hal ini tidak merefleksikan pola perbedaan perspektif yang
mendasar. Sumber-sumber spiritualitas Islam tentunya jauh dari sekadar cukup
luas untuk dapat mencakup kedua samudra spiritual ini, tanpa perlu
menghilangkan kemungkian-kemungkinan lain.
Hendry Cocbin berpendapat bahwa
“agak terlampau dangkal untuk mencurahkan pemikiran pada perbedaan antara dua
bentukspiritualitas yang dikembangkan oleh Maulana dan Ibnu Arabi”.[13]
Siapa pun yang menyelisik tasawuf dari sudut pandang kebutuhan spiritual abad
20 ini, maka penilaian semacam tadi mungkin saja tepat, tetapi perbedaan yang
tegas tetap tak dapat dilenyapkan dari teks. Tidak boleh dilupakan pula bahwa
secara umum, kedua bentuk spiritualitas ini dengan atau tanpa disengaja
dimaksudkan takdir untuk menyapa dua tipe mentalitas yang berbeda. Teosofi Ibnu
Arabi yang amat rumit yang ketika dibumikan dalam praktik, tak diragukan lagi
memiliki arah yang sama dengan “agama cinta” Rumi diserukan terutama bagi
mereka yang telah akrab dan terlatih secara teknis dalam pengetahuan islam,
khususnya teologi dan filsafat. Ia menyediakan jawaban-jawaban canggih untuk
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit. Sebaliknya, spiritualitas Rumi memikat
siapa saja yang memiliki kesanggupan utntuk mengapresiasi keindahan dan musik,
apa pun jenjang pendidikan yang milikinya. Rumi neggunakan fenomena paling
wajar dalampengalamandalam kehidupan sehati-hai. Sebagai tamsil untuk
menjelaskan derajat tertinggi metafisika dan psikologi spiritual. Ia pun
menggukan istilah teknis yang luas, tetapi terutam diambil dari “bahasa”
sehari-hari masyarakat, bukan “bahasa” para filosof dan teolog. Oleh karena
itulah, para darwis maulawiyah berasal dari segala segmen sosial, mencakup
orang ynag paling berpendidikan hingga buta huruf, yang paling kaya hingga ynag
paling papa, pejabat penting hingga penyapu jalan. Setiap muslim memiliki
“rasa” (dzauq) akan sanggup menempuh jalan Rumi (meski tidak harus memahami Matsnawi sekalipun). Namun, hingga
sebagian kecil orang memperoleh pendidikan khusus yang diperlukan untuk dapat
memahami ajaran islam sebagaimana dijelaskan Ibnu Arabi. Sebuah anekdot yang
ditulis ileh tokoh sezaman asala Iran, (ahi hikmah) sayyid jalal al din asytiyani
memperjelas perbedaan antar dua mode ekspresi ini dengan ringkas : setelah
memdengarkan Rumi tentang sebuah permasalahnkepada murid-muridnya, al qunawi bertanya
kepadanya, “bagaimana mungkin dirimu memiliki kesanggupan untuk menjelaskan
perkara metafisika yang sedemikian Rumit dan mendalam dalam bahasa penyampaian
ynag sedemikian sederhana ?” Rumi menjawab, “bagaimana mungkin dirimu memiliki
kesanggupan untuk membuat perkara yang sedemikian sederhana terdengar
sedemikian rumit?”. [14]
Harus diingat pula bahwa tidak mungkin
ada pertanyaan mengenai keterkaitan spiritual antara Rumi dan Ibnu Arabi dalam hubungan
guru murid, mengingat masing-masing memiliki jalur silsilah yang dapat
dibedakan secara jelas dan gamblang oleh karena itu, permasalahannya ada dalam
terkaitan ajaran, yakni apakah Rumi mungkin meminjam formulasi tertentu dari Ibnu
Arabi. Siapa pun yang membacanya akan menemukan kemiripan, tetapi
kemiripan-krmiripan tersebut dapat dilacak pada sumber-sumber sebelum kehadiran
Ibnu Arabi. Walaupun “perujukan pada karya-karya Ibnu Arabi acap muncul dalam
banyak syarah Matsnawi yang terbit di
india dan iran,” tidaklah tepat jika dikatakan “perlu kiranya terlebih dahulu
membaca rujukan-rujukan itu jika kita ingin mempelajri makna spiritualitas
maulan bagi para pengikut mistiknya.” Selama kehidupan Rumi sampai sultan
walad, tidak pernah ada perujukan pada ajaran Ibnu Arabi demi menjelaskan Rumi.
Contohnya, Daqa’iqul Haqa’iq karya Ahmad Rumi (ditulis pada
720H/1320M)menjelaskan banyak ajaran penting Rumi dalam cara yang relatif
sistematis : tiap-tiap delapan puluh babnya dimulai dengankutipan dari al Quran
atau hadits, yang dikuatkan dengan syair mulik pengarang sendri. Karya semacam
ini memperlihatkan bahwa syair-syair Rumi tidak membutuhkan penjelasan melalui
terminologi dan ide Ibnu Arabi. Kenyataannya, karya-karya Rumi “dapat
menjelaskan dirinya sendiri,” terutama jika diiringi praktik yang bersesuaian
dengannya. Lebih jauh lagi, jika Rumi sungguh seorang pengikut Ibnu Arabi,
seharusnya ada diantara para pengikut Ibnu Arabi pada masa berikutnya yang
mengutip karya-karya Rumi karena karya-karya ini sedemikian cocok untuk
mengekspresikan banyak ajaran mereka. Namun, kenyataannya, tidak ada pengikut Ibnu
Arabi yang menulis dalam bahsa Persia dan mengutip syair-syair Persia
(contohnya, al Qunawi, Iraqi, Faraghani dan Jandi) yang pernah mengutip karya Rumi.
Setidaknya, hal ini menjelaskan bahwa dalam pandangan mereka, perspektif mereka
tidak sama dengan Rumi.
Alasan utama para pen-syarah bersikukuh
menginterprestasikan ide-idenya dengan menggunakan ajaran Ibnu Arabi adalah
diskursus intelektual saat itu didominasi oleh mode ekspresi Ibnu Arabi. Maka,
“menjelaskan” cara pandang Rumi serta dengan menerjemahkan idiom-idiom puitis dengan
tamsil dan terminologi teknis yang khas ke dalam mode ekspresi yang lebih
berkesan intelektual, yang sangat dipengaruhi oleh konsep dan peristilahan dari
madzhab Ibnu Arabi. Tidak ada pertentangan fundamental antara kedua jenis
spiritualitas ini, tetapi memindahkan bentuk ekspresi yang satu ke dalam yang
lain sama saja dengan mengurangi kekayaan nuansa tertentu khususnya,
spontanitas bentuk ekspresi pertama.
Beberapa fakta yang menunjukkan
bahwa para pensyarah atau komentator karya Rumi merujuk pada ajaran Ibnu Arabi
tidak berarti seluruh pengikut Rumi memahami dirirnya dalam sudut pandanga
jaran tersebut. Kebanyakan komentar ditulis oleh para akademisi yang trelatih
dalam ilmu-ilmu keislaman, yang “intelektual”. Namun, dari sebagian besar murid
dari pelbagai tarekat-berdasarkan kenyataan bahwa mereka berangkat dari strata
sosial yang berbeda akan cukup merasa puas kesusatraan itu belaka, tanpa
merasakan kebutuhan “penjelasan”. Keindahan puisi ketika dilantunkan atau pun
dinyanyikan sudah merupakan sebuah “komentar” yang cukup bagi muatan
intelektualnya. Samapai hari ini, ketika tarekat-tarekat berkumpul di
tempat-tempat, seperti di iran, dan mendengarkan pelantunan Matsnawi, setiap darwis mengapresiasi
keindahannya, yang menjadikan muatan intelektual secara langsung dapat diserap.
Namun, hanya sedikit yang tertarik pada penjelasan teknis tentang basis
intelektual pemikiran Rumi.
Dapat ditekankan bahwa tidak terdapat
bukti dalam karya-karya Rumi yang menunjukkan bahwa dirinya dipengaruhi oleh Ibnu
Arabi atau al Qunawi. Bahkan, Hendry corbin, tokoh terkemuka di antara ahli
yang mendalami literatur dan mengharmonikan dua mode ekspresi spiritualitas
itu, tidak pernah menyatakan adanya saling pengaruh secara langsung, mengingat
tidak ada terminologi asli Ibnu Arabi yang dapat dikemukakan dalam karya-karya Rumi.[15]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rumi lahir di Balkh, Afghanistan pada
604 H atau 30 September 1207 M. Mulanya Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin
Muhammad bin Muhammad Al Balkhi Al Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena
sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma). Rumi merupakan pendiri tarekat Maulawiyah, yaitu
tarekat asal Turki yang dikenal luas, baik di negeri Islam maupun Barat,
melalui Whirling Darvish-nya. Kata Maulawiyah berasal dari kata Maulana yang
berarti “guru kami” dan merupakan
gelar yang diberikan murid-muridnya kepada Jalaluddin Rumi.
Kehidupan
Rumi berubah sangat drastis setelah ia bertemu dengan sufi yang bernama Syamsi
Tabrizi, meskipun Rumi sejak kecil sudah mengamalkan kehidupan zuhud dan kental
dengan kehidupan ala sufi namun setelah bergaul dengan Syami Tabrizi ia baru
memproklamirkan diri lebih mendalami lagi tentang spiritualitas tasawuf secara
total. Karena keharmonisan hubungan antara keduanya itu menimbulkan kecemburuan
di kalangan pengikut Rumi. Adapun sumber-sumber dari ajaran spiritual Rumi di
ambil dari Al-Quran, Al-Hadist dan ajaran sufi-sufi terdahulu. Perjalan
spiritualitas Rumi sangatlah panjang, ia hidup sezaman dan tinggal di Damaskus
bersama ibnu arabi sehingga ajaranya memiliki kemiripan dan saling
mempengaruhi.
B. SARAN
Saran yang dapat penulis berikan adalah perlunya kita
untuk mengenal tarekat ini agar kita bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan
berbagai macam cara yang salah satunya seperti yng diajarkan pada tarekat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Ahmad Bangun. 2013. “Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman,dan
Pengaplikasiannya (Disertai Biografi tokoh-tokoh Sufi)”. Jakarta : Rajawali Press.
Sayyed Hossein Nasr (ed). 1997. “Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam
Manifestasi”. Bandung : Mizan.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4784
diakses pada hari Senin tanggal 4 April 2015
[1] Ahmad Bangun Nasution, Akhlak
Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman,dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi
tokoh-tokoh Sufi), Rajawali Press, Jakarta, 2013, hal. 149-151
[2] Ibid, hal 153
[3] http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4784
diakses pada hari Senin tanggal 4 April 2015 15.40WIB
[4] Sayyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedia
Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, Mizan, Bandung, 1997, hal 143.
[5] Ibid, hal 144.
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid, hal 145.
[9] Ibid, hal 146.
[10] Ibid, hal 147.
[11] Ibid, hal 150.
[12] Ibid, hal 152.
[13] Ibid, hal 154.
[14] Ibid, hal 155.
[15] Ibid, hal 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar