Jumat, 05 Juni 2015

Madzhad Tasawuf (Jalaluddin Rumi)



“Rumi dan Tarekat Maulawiyyah”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Madzhab Tasawuf”

Dosen Pengampu :

Ahmad Sauqi, S.Ag,M.pd.I




Disusun Oleh:

KELOMPOK 8

Nurul ‘Ainiyah             (2833133043)
Rohma Nurhayati      (2833133053)

Tasawuf Psikoterapi IV B
Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Rumi dan Tarekat Maulawiyyah”. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW suri tauladan, penegak keadilan dan kebenaran.
            Makalah ini kami ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Tasawuf Sosial. Selesainya penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1.     Bapak Dr. Maftukin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menuntut ilmu di IAIN Tulungagung.
2.     Bapak Ahmad Sauqi, S.Ag,M.pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah madzhab Tasawuf  yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam proses pembelajaran mata kuliah ini.
3.     Juga kepada teman-teman kami yang telah membantu tugas ini, semoga tali persahabatan kita tersimpul erat sampai kapan pun.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini berguna bagi para pembaca.

Tulungagung, 5 Mei 2015


Penulis




DAFTAR ISI

Halaman sampul................................................................................................... i
Kata Pengantar………………………………………………………………… ii
Daftar Isi……………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………1
C. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………. 3
Biografi Jalaluddin Rumi……………………………………………………….. 3
Sejarah tarekat Maulawiyah …………………………………………………….. 6
Syamsi Tabrizi…………………………………………………………………. 12
Para Pengikut Rumi ……………………………………………………………..15
Sumber-Sumber Spiritual Rumi ………………………………………………... 16
Rumi Dan Ibnu Arabi …………………………………………………………... 17
BAB III PENUTUP…………………………………………………………… 22
Kesimpulan…………………………………………………………………….. 22
Saran …………………………………………………………………………… 22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 23


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tarekat yang secara harfiah berarti jalan kecil, memiliki dua pengertian yang berbeda, yang pertama tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju Tuhan dalam konteks ini kita berbicara tentang maqamat, yang kedua tarekat dipahami sebagai “persaudaraan” atau ordo spiritual, yang biasanya merupakan perkumulan spiritual yang dipimpin oleh seorang guru (mursyd) dan para khalifahnya. Dalam pengertian inilah yang dimaksud tarekat Maulawiyah.
Nama Mawlawiyah berasal dari kata “Mawlana” (guru kami) yaitu gelar yang diberikan oleh murid-muridnya kepada Muhammad Jalal al-Din Rumi, seorang sufi penyair terbesar sepanjang masa. Tarekat ini didirikan 15 tahun sebelum wafatnya. Walaupun tarekat ini tidak terlalu besar dibanding dengan tarekat Naqsyabandi tetapi tarekat ini masih tetap hidup hingga sekarang.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang biografi Jalaluddin Rumi, sejarah tarekat Maulawiyah, Syamsi Tabrizi, sumber-sumber spiritual Rumi serta perbedaan Rumi dan Ibnua Arabi.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimanakah biografi Jalaluddin Rumi?
2.     Bagaimanakah sejarah tarekat Maulawiyah?
3.     Siapakah Syamsi Tabrizi?
4.     Apa sajakah sumber-sumber spiritual Rumi?
5.     Bagaimanakah perbedaan Rumi dengan Ibnu Arabi?



C.    Tujuan Pembahasan
1.     Mengetahui biografi Jalaluddin Rumi.
2.     Mengetahui sejarah tarekat Maulawiyah.
3.     Mengenal Syamsi Tabrizi.
4.     Mengetahui sumber-sumber spiritual Rumi.
5.     Mengetahui perbedaan Rumi dengan Ibnu Arabi.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Jalaluddin Rumi

Rumi lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 M. Mulanya Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al Balkhi Al Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan perguruan tinggi agama yang didirikan di ibu kota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq  At Turmudzi, sahabat dan penganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suria) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 636 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi mengantikan sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak ulama berkumpul di Konya. Tidak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang memiliki banyak murid, 4000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan umatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupan itu berubah seratus delapun puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin atau Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang laki-laki asing yakni Syamsi Tabriz ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab, akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Walad, putra Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataanya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihanya untuk berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya yang telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya dan buku itu dikenal dengan nama Maqamat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, syaikh Hisanuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi (Matsnawi). Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot dan lain-lain. bahkan Masnavi sering disebut Quran Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa ; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisanuddin pula, Rumi mengembangkan Tarekat Maulawiyyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirng Dervishes (para Darwisy; yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.[1]
Semua menusia tentu akan kembali kepada-Nya demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pemikiran Rumi masih menampakan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendoakan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan”. Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit”.
Pada tanggal 5 Jumadil akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk sepat berdesak-desakan ingin mengantar kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (malam penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Tarekat Maulawiyyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.[2]

B.    Sejarah Tarekat Maulawiyyah [3]
Tarekat berasal dari bahasa Arab ﻪﻘﻳﺮﻃ yang berarti garis sesuatu, jalan, dan bisa juga bermakna keadaan. Tarekat juga berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. Dalam hal ini sufi melakukan latihan-latihan dalam bidang kerohanian.
Cikal bakal tarekat muncul pada abad ke-4 yang dipelopori oleh Abu Said Al Muhari yang mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang kemudian diubah menjadi markas sufisme. Kemudian mulai menyebar di Irak, Mesir dan Maroko.
Tarekat dapat diamalkan secara perorangan, tetapi biasanya merupakan suatu lembaga. Pada mulanya tarekat merupakan perkumpulan orang sufi yang berdiri spontan dan tanpa ikatan. Kemudian berkembang menjadi organisasi sufi dengan peraturan-peraturan tertentu ke berbagai wilayah-wilayah Islam. Hingga sekarang jumlah tarekat yang ada lebih dari 200 buah. Hal ini terjadi sejak sekitar abad ke-9 H. Sedangkan Tarekat Maulawiyah sendiri muncul sebelum itu, yakni sekitar abad ke-7 H di Persia. Salah satu sumber terpenting dalam sejarah awal tarekat ini adalah karya-karya Rumi.
Selain karya-karya tulisannya, ada satu hal yang juga merupakan sumber terbentuknya Tarekat Maulawiyah, yaitu sama’, yang meliputi musik, nyanyian dan tarian spiritual. Jika dilihat dari riwayat kehidupan Rumi sebagai pendiri tarekat ini, tarian spiritual muncul sejak terjalinnya hubungan spiritual yang terjadi antara dua sahabat karib, al-Rumi dan Syamsuddin. 
Selama enam bulan mereka bersama akhirnya dapat mengubah kehidupan Rumi sepenuhnya. Dan setelah peristiwa kehilangan Syamsuddin, Rumi menyelenggarakan pertemuan-pertemuan sama’ untuk mengenang Syamsuddin. Dari pertemuan-pertemuan sama’ inilah akhirnya terbentuk sebuah lembaga tasawuf yang memiliki ciri tarian berputar yang dipimpin oleh Rumi, yaitu Tarekat Maulawiyah.
Menurut Syaikh H. Jalaluddin dalam bukunya Abu Bakar Aceh, Tarekat Maulawiyah merupakan salah satu dari 41 macam tarekat yang sudah diakui kebenarannya di Indonesia. Selain itu juga merupakan tarekat besar keempat yang lahir dan tumbuh di Turki, setelah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Suhrawardiah dan Tarekat Syadziliyyah. Tarekat ini berpusat di Turki dan awalnya berkembang di daerah sekitarnya. Seni yang ada di dalamnya membuat Tarekat Maulawiyah mempunyai pengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun 1648 M.
Pada masa sekarang, Tarekat Maulawiyah paling banyak ditemui di Anatolia, Turki dan perkembangan terakhir ada di Amerika Utara. Pada tahun 1925 M, kegiatan sama’ dalam Tarekat Maulawiyah di Turki sempat dilarang. Tetapi sekitar tahun 1954 M, sama’ diperkenankan kembali. Awalnya, sama’ dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi akhirnya bisa mendatangkan kekaguman oleh banyak penduduk Turki yang disebabkan oleh unsur-unsur yang terdapat di dalamnya sampai mencapai ekstase.
Banyak ahli mistik klasik yang diilhami dari musik darwis  Tarekat Maulawiyah ini. Kenyataannya, lagu-lagu terbaik dari musik klasik Turki banyak digubah oleh seniman-seniman yang mempunyai hubungan dengan Tarekat Maulawiyah. Ahli-ahli kaligrafi dan miniatur pun banyak yang tergabung dalam anggota darwis  Maulawiyah. Tarekat ini melengkapi masyarakat Turki dengan karya-karya seni muslim yang pernah diciptakan. Pengaruh Jalaluddin Rumi telah menjadi daya kekuatan hidup dalam perkembangan mistisisme kesusastraan dan seniman Turki.

C.    Syams  At Tabrizi

Syams merupakan salah seorang figur misterius dan penuh teka-teki dalam tasawuf, sehingga Sulthan Walad mempersamakan dirinya dan Rumi bagaikan Nabi Khidir dan Musa. Publikasi terhadap karya Syams yaitu Maqalat, mampu menyingkirkan spekulasi yang menyatakan bahwa dirinya adalah tokoh dari dunia ghaib. Syams mengatakan bahwa dirinya pertama kali berjumpa dengan Jalaluddin Rumi lima belas atau enam belas tahun sebelumnya di Suriah, ketika Rumi berada disana untuk belajar (sekitar 630-34 H/ 1233-37M). Dia menceritakan pengalaman spiritual yang pernah dialaminya saat masih kecil yang menyebabkan dirinya memisahkan diri dari pergaulan masyarakat luas. Saat ayahnya mempertanyakan kelakuan yang aneh itu, dia membandingkan dirinya sebagai anak itik yang menetas diantara ayam-ayam. “Jadi, ayah, aku menyaksikan samudra, dan samudra itu telah menjadi gunungku, itulah kampung halaman dan keadaan spiritualku. Jika diriku adalah milikmu atau dirimu adalah milikku, terjuni samudra itu jika tidak tetaplah tinggal bersama ayam-ayam”[4]. Tentang ayahnya, dia selalu berkomentar bahwa ayahnya adalah orang baik dan memiliki kemuliaan tertentu, tetapi beliau bukanlah pecinta tuhan. Seorang yang baik adalah satu hal, sedangkan seorang pecinta adalah perkara yang lain sama sekali”.
Menurut Syams, dirinya dibimbing untuk berjumpa dengan Rumi melalui sebuah mimpi. Diceritakan bahwa Rumi menyadari kedatangan Syams dan menjumpainya. Mereka duduk saling berhadapan di depan sebuah toko, tanpa mengucapkan sepatah katapun, akhirnya Syams bertanya kepadanya tentang perbandingan maqam Nabi dangan Abu Yazid al Basthami, yang dijawab oleh Rumi dengan menjelaskan superioritas yang tak terbandingkan dari seorang nabi. Mereka berangkulan dan “larut bagai gula dalam susu”. Selama enam bulan mereka tak terpisahkan dan jalan hidup Rumi berubah sepenuhnya. Transformasi ilahiah yang terjadi ini disadari oleh seluruh kota. Terutama ketika dia menanggalkan jubah keutamaannya, berhenti mengajar dan berkhutbah, dan mulai mengahadiri kegiatan sama’ secara teratur. Sulthan Walad menceritakan, saat Syams mengundang Maulana Jalaluddin Rumi menghadiri sama’ dalam bentuk khusus, “Maulana menjadikan hal itu sebagai mazhab dan ortodoksinya (ra’yid durus) dan hatinya mekar mejadi ratusan taman”. (Walad-namah, 17).[5]
Rumi menyingung perubahan yang dijalaninya antara lain dalam bait berikut:
Dahulu, jemariku senantiasa menggenggam Al Quran, tetapi kini ia menggengam kendi cinta.
Dahulu, mulutku penuh dengan pujian, tetapi kini, ia hanya melantunkan puisi dan nyanyian (D 24875-76).[6]
Kesetian Rumi kepada Syams menimbulkan kecemburuan kepada sejumlah pengikutnya. Akhirnya timbul kondisi yang membuat Syams pergi meningalkan Konya setelah tinggal selama enam belas bulan. Dalam kepedihanya, Rumi menarik diri dari semua orang. Para muridnya segera menyadari betapa mereka lebih terasing dari dirinya dibandingkan dengan sebelumnya. Saat sepucuk surat yang dikirim Syams dari Suriah tiba, Rumi mengirim kepadanya sebuah ghazal yang melukiskan keadaanya setelah ditinggal pergi oleh Syams:
Tanpa kehadiranmu, sama’ adalah terlarang,seperti halnya setan, pesta adalah kutukan.
Tanpa kehadiranmu tak satu pun ghazal yang ku perolehkan; ketika pesan mu datang, lima atau enam bait telah aku ciptakan karena kegembiraan dalam mendengar (sama’)-nya (D 18457-59)[7]
Rumi mengutus Sulthan Walad pada Syams, yang pada akhirnya kembali menetap di Konya sampai 645H-1247-48 M, ketika Syams menghilang. Menurut salah satu laporan tertua yang kini diterima oleh akedemisi, Syams dibunuh oleh para murid merasa cemburu. Keterlibatan ‘Alauddin, putra Rumi sendiri, dalam pembunuhan itu dapat menjelaskan hubungan ayahnya yang amat dingin dengan dirinya bahkan Rumi menolak menghadiri pemakamannya saat dia meninggal 658 H/1260 M. Namun, Rumi tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berpikir bahwa Syams telah meninggal dan tidak mengasingkan diri seperti halnya yang terjadi saat pertama kali kehilangan Syams, sebagai gantinya, dia mencurahkan diri pada sama’ dan melantunkan nyanyian kepedihan hati dan kerinduan. Dua kali ia berangkat ke Damaskus, berharap menemukan Syams disana. Pada perjalanan yang kedua, sekitar dua tahun setelah lenyapnya Syams, dia mengambil kesimpulan bahwa Syams hanya akan dapat ditemukan didalam dirinya sendiri. Meminjam kata-kata sultan Walad;
Dia berkata, “meski secara jasad aku terjauh kan darinya, tanpa tubuh dan ruh, kami berdua salah satu cahaya….”
Karena aku adalah dia dan dia adalah aku, mengapa aku harus mencari lagi? Kami adalah satu. Kini, aku akan bernyanyi tentang diriku sendiri”. (Walad-namah, 60-61).[8]
Banyak bait puisi yand ditulis sendiri oleh Rumi menggambarkan identifikasi serupa. Untaian doa bagi Syams harus dipandang sebagai doa bagi jiwanya sendiri.
Syams Tabrizi kenyataannya adalah sebuah dalih akulah yang memamerkan moleknya kelembutan tuhan, aku.
Untuk menyelubuhinya, kukatakan kepada orang-orang, “Dia adalah raja mulia, diriku hanyalah pengemis belaka……….”
Diriku musnah dalam keindahan Syams dalam kemusnahan ini, tidak pernah ada dia atau aku (D 16532-35).
Manusia seperti apakah Syams ini? Pertanyaan ini perlu dilontarkan oleh orang yang sezaman dengannya, dengan nada yang dapat membuat orang dapat mengatakan bahwa ribuan bait yang ditorehkan Rumi semata-mata demi menjawab pertanyaan seperti ini mesti ia biasanya menyembunyikan sisi mistis sifat Syams. Syams sendiri sangat menyadari bahwa masyarakat menganggap penampilannya dan kelakuannya aneh, bahkan di luar adat.
Wajar bila orang-orang ini kurang biasa dengan bicaraku. Semua kalimatku keluar dalam modus keagungan (kibriya’) sehingga nampak seperti pernyataan yang tidak berdasar. Kalimat-kalimat Al Quran dan Nabi Muhammad mengalir dalam modus kebutuhan (niyaz) sehingga mereka menjelma sebagi makna (ma’na). Oleh karena itu, masyarakat yang mendengar kata-kataku yang mengalir bukan pada modus “pencairan atau kebutuhan” kata-kataku sedemikian tinggi sehingga untuk melihatnya, engkau harus menengadahkan kepala hingga topimu terjatuh. (Maqalat, 14).[9]
Pernyataan semacam itu telah menyinggung perasaan para pengikut Rumi yang biasa bersikap lugas, namun Syams tidak menunjukkan rasa terkejut atas kehadirannya terhadap Rumi: “Tiada bahwa seseorang telah menjadi sahabatku adalah terasa dingin pahitnya persahabatan dengan yang lain bukan dalam taraf yang memungkinkan persahabatan dengan orang lain terus berlanjut meski telah dingin, melainkan dalam taraf yang sedemikian rupa sehingga ia tak mampu lagi bersahabat selain denganku (Maqalat, 75). Syams amatlah menyadari ketinggian spiritual Rumi dan memandang wajar bahwa Rumi sendiri semestinya menyadari kedudukannya: “Aku tak punya urusan apapun di dunia ini dengan orang awam – Aku tidak datang demi mereka. Aku menjadi teman setia bagi siapapun yang menuntun dunia kepada tuhan”. (Maqalat, 84).[10]
Dari apa yang telah ditekankan dalam kutipan sebelumnya bagian-bagian lain dalam Maqalat, jelaslah bahwa Syams tidak mengklaim dirinya sebagai pembimbing spiritual Jalaluddin Rumi dalam pengertian umum – Rumi sudah merupakan penyelam mutiara yang hebat sebelum Syams mencari dirinya. Nyatanya, Syams secara emplisit menyatakan bahwa tidak ada hubungan guru-murid,  murid dan para pencinta tuhan dalam jalan spiritual, gaya yang dipergunakan berbeda dengan ghazal dalam Diwan, yang memang kebanyakannya disusun sebagai ekspresi terhadap persepsi spiritual tanpa persiapan terlebih dahulu. Puisi dalam Diwan berkenaan dengan segenap periode perkembangan spiritual Rumi setelah datangnya Syams, sedangkan Matsnawi muncul bagai kesaksian intensional sang wali yang telah mencapai derajat tertinggi kesempurnaan seorang manusia dan telah kembali ke dunia untuk membimbing manusia ke Tuhan.

D.    Para Pengikut Rumi

Terdapat dua orang sahabat Jalaluddin Rumi yang layak dibahas secara khusus. Syaikh Shalahuddin Zarkub (W. 657 H/ 1258 M), seorang pandai emas, yang tanpa pendidikan formal menjadi murid Muhaqqiq Tirmidzi dan memiliki seorang putri yang menjadi istri Sulthan Walad. Dua atau tiga tahun setelah menghilangnya Syams, dia menjadi sahabat terdekatnya Rumi sampai akhir hayatnya. Dirinya merupakan objek puji-pujian dalam lebih dari lima puluh ghazal Rumi. Husainuddin Chalibi (W. 683 H/ 1284-85M) menjadi kawan terdekat Rumi setelah kematian Shalahuddin. Dia telah menjadi murid kesayangan selama beberapa tahun, ketika Syams hidup di Konya, dia diberi tugas penting untuk melayani keperluan Syams dan bertindak sebagai mediator bagi orang-orang yang ingin menemuinya. Sebuah ghazal bertanggal (D 1839) sudah didedikasikan baginya sejak Dzulqa’dah 654 H/ November 1256 M dan para akademisi modern telah menyusun bukti kuat yang memperlihatkan bahwa Matsnawi – yang didekasikan dan didiktekan kepada Husainuddin – mulai dibuat sekitar delapan belas bulan sebelum kematian Shalahuddin.
Pada 672H/1273M, ketika hampir menyelesaikan buku keenam Matsnawi – yang memang telah diumumkan sebagai buku terakhir – kesehatan Rumi mulai menurun dengan serius. Para tabib tidak dapat menemukan penyakit yang menyerangnya. Dia pergi meniggalkan dunia fana dengan Matsnawi yang tidak terselesaikan. Salah satu dari ghazal terakhirnya, yang diselesaikan di ranjang kematian, dimulai dengan baris berikut :
Bagaimana mungkin engkau dapat mengetahui raja seperti apakah sahabat batinku itu? Jangan memandangi wajahku yang pucat pasi ini, karena sesungguhnya diriku memiliki kaki terbuat dari baja! (D1426).[11]
Saat kematian Rumi, Husamuddin adalah khalifahnya, murid tertinggi, yang memangku jabatan untuk memimpin urusan-urusan tarekat itu. Meskipun demikian, dia mendatangi Sultan Walad dan memintanya untuk menggatikan ayahnya menjadi pembimbing spiritual tertinggi. Berdasarkan penuturannya sendiri, Sultan Walad menjawab sebagai berikut:
Selama masa hidup ayahku, engkau adalah khalifahnya tidak ada perubahan sedikit pun sampai kini.
Engkau adalah pemimpin dan aku adalah pengikut; sang raja sendiri telah memperlihatkannya kepada kami.
Dirimu adalah khalifah kami dari awal hingga akhir, pemimpin dan syaikh bagi kami di dalam dua alam. (Walad Namah, 123)
Husamuddin menjadi guru tertinggi tarekat ini sampai akhir hayatnya sepuluh tahun kemudian. Setelah itu para murid berkumpul mengelilingi Sultan Walad dan mentasbihkannya menjadi penggantinya. Dia memimpin upaya perluasan besar-besaran dengan mengirim khalifah ke berbagai penjuru Anatolia. Dirinya pun mengodifikasikan ritus serta peraturan dalam berpakaian dan bertingkah laku khas Maulawiyah. Karyanya, Diwan, tiga Matsnawi, dan kumpulan ceramah, memang dnegan cara apa pun tidaklah mungkin disejajarkan dengan karya ayahnya, tetapi memberikan klarifikasi yang amat penting dan apa adanya terhadapa banyak ajaran Rumi. Ajaran Rumi menyatakan bahwa salah satu tujuan penyusunan Matsnawi pertamanya (690H/1291M) adalah menjelaskan pencapaian spiritual dan perbuatan menakjubkan orang-orang yang hidup “pada masa kita sendiri”, seperti halnya Matsnawi ayahnya yang berupaya melukiskan apa yang telah diperbuat generasi sebelumnya. Dia menggaris bawahi pula bahwa Syamsuddin, Shalahuddin, Husamuddin kurang dikenal, tetapi akan menjadi terkenal berkat penuturannya. Tepatlah jika dikatakan bahwa karyanya merupakan salah satu sumber terpenting bagi sejarah awal tarekat ini, yang hanya disamai oleh Risalah karya Sipahsalar dan Manaqib al Arifin karya Aflaki (keduanya ditulis pada 718-19H/1318-19M).
Mengenai Sultan Walad, Rumi berkata, “Engkau adalah manusia yang paling mirip denganku secara fisik maupun karakter (khalq wal khulq)” (Walad-namah,3), dan orang sering salah sangka, mengira mereka berdua adalah kakak adik. Sesungguhnya, kontribusi terpenting Sultan Walad bagi Maulawiyah adalah pewaris kualitas kemanusiaan ayahnya: setelah kematian Sultan Walad pada 712H/1321M, tiga orang putranya (Arif Chalabi, w. 719H/1319M, Abid Chalabi, w. 729H/1329M, dan Wajid Chalabi, w. 733H/133M) mengikuti jejaknya menjadi pimpinan tarekat, sedangkan putrinya, Muthaharah Khatun, adalah ibu bagi syaikh selanjutnya. Kecuali dua putra Abid Chalabi dan putra Muthaharah,  seluruh pemimpin tarekat sampai belakangan ini merupakan keturunan Arif Chalabi (yang ibunya berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain adalah putri Shalahuddin Zarquk).
Sangatlah tidak mungkin untuk menyajikan bahwa sekadar pembahasan singkat mengenai perluasan dan pengaruh tarekat Maulawiyah selanjutnya dalam tulisan ini. Cukuplah untuk mengatakan bahwa tarekat Maulawiyah memainkan peranan besar dalam sejarah kekaisaran Utsmaniah secara spiritual, kultural, dan politik. Perkembangan kesenian musik Turki berhubungan erat “ritus” Maulawiyah (‘ain) dan banyak ahli kaligrafi terbesar Turki merupakan anggota tarekat ini. Kesusastraan Turki banyak berutang pada syair-syair berbahasa Persia karya Rumi, dalam hal gaya maupun tema. Penyair terkemuka semacam Mehmed Esad Ghalib (w 1218H/1799M) hanya dapat dimengerti dari sudut pandang Matsnawi. Peranan politi tarekat ini amat terlihat selama masa Sultan Selim III (1789-1808), yang sekaligus merupakan darwis Maulawiyah dengan bakat musik yang menelurkan sebuah komposisi ‘ain.
Pancaran cahaya Rumi ridak dapat dihalangi oleh sekat-sekat yang dibuat kekaisaran Utsmaniah yang diperlihatkan dengan gamblang oleh A. Schimmel, membahas pengaruh Rumi sama saja dengan membicarakan perkembangan kesusastraan dalam semua bahasa dunia Islam terbesar selain bahasa Arab dan penyebaran tarekat secara umum. Mayoritas umat Islam dalam sastra sosial dan pendidikan senantiasa menghargai keindahan puisi dan kesenian yang mengiringinya seperti musik dan kaligrafi. Dari Turki sampai India, di mana pun peninggalan ini dihargai, Rumi tetaplah menjadi figur sentral.

E.    Sumber-Sumber Rumi

Menurut Schimmel, karya-karya Rumi yang refleksi dalam puisi-puisi dan gagasan-gagasan Rumi, mulai Al Quran dan Hadits, dan pengaruh sufi-sufi terdahulu. Selain tokoh-tokoh yang memiliki peranan begitu penting dalam memberi bentuk pada segenap formulasi ajaran sufi berikutnya, seperti al Ghazali, tampaknya dapat dilihat adanya dua pengaruh yang dominan. Pertama, pengaruh dua penyair sufi terbesar yang hidup pada masa sebelumnya : Sana’i (W 525 H/ 1130-31 M) dan dalam tingkatan yang lebih rendah, ‘Aththar wafat sekitar 618 H/1221 M. Rumi sering memuji Sana’i, bahkan Syams menegaskan bahwa penyair ini “amat terbebas dari pengaruh dirinya sendiri: kata-katanya adalah kata-kata Tuhan.” (Maqalat, 156).[12]
Pengaruh dominan yang kedua berasal dari para guru dan sahabat dekatnya sendiri, khususnya ayahnya, Bahauddin Walad, dan Syams at Tabrizi. Karya dari keduanya mempengaruhi Rumi dalam banyak hal, seperti yang telah diperlihatkan oleh penyunting Ma’rifat dan Ma’arif. Yang lebih penting lagi, kedua tokoh ini telah menampakkan dalam kepribadian masing-masing dua dimensi spiritualitas Rumi yang saling melengkapi. Ma’rifat Ma’arif karya bahauddin Walad terpengaruh oleh penekanan pada cinta dan keindahan yang menjadi karakter Rumi dan Maulawiyah secara umum, sifat kelembutan (luthf) dan keindahan (jamal) Tuhan merasuki keseluruhan karya tersebut. Sebaliknya, Maqalat karya Syams seakan mempertontonkan aspek maha pemaksa tuhan (qahr) dan keagunganNya (jalal). Dalam sebuah karyanya, Syams menyinggung kenyataan bahwa Maulana mengunggkapkan aspek kelembutan Tuhan, sementara dirinya sendiri memamerkan aspek kelembutan dan kekerasan Tuhan (Maqalat, 74). Rumi senantiasa membawa Ma’arif karya ayahnya dan mempelajarinya hingga saat Syams melarangnya membaca kitab itu, perbuatan Syams mungkin melambangkan keinginannya untuk memperkuat kapasitas batin Rumi untuk sanggup memancarkan aspek keagungan dan kekerasan tuhan. Dalam hal ini, harus diingat ajaran Rumi yang dengan jelas memperlihatkan dekatnya hubungan antara kekerasan tuhan dan kepedihan serta kegundahan hati akibat perpisahan. Perpisahan dengan syams mungkin sesungguhnya merupakan hal yang amat penting agar Rumi sanggup menyadari aspek-aspek ini secara utuh. Lebih lanjut lagi, sejumlah besar ghazal yang menggambarkan keagungan dan kemuliaan tuhan dengangaya bahasa orang pertama sepertinya berasal dari periode terakhir kehidupannya, ketika dia telah sepenuhnya menyadari Syamsuddin “sang matahari agama” dalam dirinya sendiri. Juga tepat jika disebutkan bahwa dalam ghazal-ghazal ini, Rumi bertutur dari posisi yang jika dilihat oleh siapa pun, “topinya akan terjatuh karena kepala yang tertengadah”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengaruh bahauddin Walad kepadanya bersifat “feminin”, yang pengaruh Syams bersifat “maskulin”. Bahauddin Walad adalah ayah Rumi “secara bentuk” (darshurah), tetapi merupakan ibunya “secara makna” (darma’na), sedangkan Syams adalah ayah spiritual baginya.

F.     Rumi Dan Ibnu Arabi

Sering dinyatakan secara eksplisit bahwa Rumi dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dan atau pengikutnya, tetapi penilaian ini tampaknya sebagian besar hanya berlandaskan spekulasi sehingga dapat dikesampingkan. Memang benar bahwa Shadruddin Al Qunawi (W 673 H/1274 M), anak angkat Ibnu Arabi sekaligus muridnya yang paling terkemuka, merupakan salah seorang sahabat dekat Rumi, tetapi tingkat spiritual Rumi sudah terlalu tinggi untuk dapat dipengaruhi oleh “persahabatan”, sekalipun dengan seorang syaikh besar semacam al Qunawi (dan tidak dapat dikatakaan bahwa Al Qunawi telah dipengaruhi Rumi). Sipahsalar menuturkan bahwa Rumi menjadi seorang “sahabat” Ibnu Arabi ketika Rumi bermukim di Damaskus (sekitar 630-34 H/1233-37 M), dan akan sangat aneh jika sama sekali tidak pernah ada kontak antara mereka berdua. Namun sekali lagi, masalah pengaruh perlu didiskusikan secara terpisah denga masalah hubungan pertemanan atau persahabatan. Bukanlah tanpa signifikansi jika bagian tertentu biografi Rumi dan Maqalat karya Syams memperlihatkan bahwa syaikh tarekat maulawiyah memandang rendah pada karakteristik teosofi tersistematisasi Ibnu Arabi dan pengikutnya. Perbedaan diantara keduanya dalam gaya pengungkapan demikian konsisten dan mendalam sehingga tak mungkin hal ini tidak merefleksikan pola perbedaan perspektif yang mendasar. Sumber-sumber spiritualitas Islam tentunya jauh dari sekadar cukup luas untuk dapat mencakup kedua samudra spiritual ini, tanpa perlu menghilangkan kemungkian-kemungkinan lain.
            Hendry Cocbin berpendapat bahwa “agak terlampau dangkal untuk mencurahkan pemikiran pada perbedaan antara dua bentukspiritualitas yang dikembangkan oleh Maulana dan Ibnu Arabi”.[13] Siapa pun yang menyelisik tasawuf dari sudut pandang kebutuhan spiritual abad 20 ini, maka penilaian semacam tadi mungkin saja tepat, tetapi perbedaan yang tegas tetap tak dapat dilenyapkan dari teks. Tidak boleh dilupakan pula bahwa secara umum, kedua bentuk spiritualitas ini dengan atau tanpa disengaja dimaksudkan takdir untuk menyapa dua tipe mentalitas yang berbeda. Teosofi Ibnu Arabi yang amat rumit yang ketika dibumikan dalam praktik, tak diragukan lagi memiliki arah yang sama dengan “agama cinta” Rumi diserukan terutama bagi mereka yang telah akrab dan terlatih secara teknis dalam pengetahuan islam, khususnya teologi dan filsafat. Ia menyediakan jawaban-jawaban canggih untuk dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit. Sebaliknya, spiritualitas Rumi memikat siapa saja yang memiliki kesanggupan utntuk mengapresiasi keindahan dan musik, apa pun jenjang pendidikan yang milikinya. Rumi neggunakan fenomena paling wajar dalampengalamandalam kehidupan sehati-hai. Sebagai tamsil untuk menjelaskan derajat tertinggi metafisika dan psikologi spiritual. Ia pun menggukan istilah teknis yang luas, tetapi terutam diambil dari “bahasa” sehari-hari masyarakat, bukan “bahasa” para filosof dan teolog. Oleh karena itulah, para darwis maulawiyah berasal dari segala segmen sosial, mencakup orang ynag paling berpendidikan hingga buta huruf, yang paling kaya hingga ynag paling papa, pejabat penting hingga penyapu jalan. Setiap muslim memiliki “rasa” (dzauq) akan sanggup menempuh jalan Rumi (meski tidak harus memahami Matsnawi sekalipun). Namun, hingga sebagian kecil orang memperoleh pendidikan khusus yang diperlukan untuk dapat memahami ajaran islam sebagaimana dijelaskan Ibnu Arabi. Sebuah anekdot yang ditulis ileh tokoh sezaman asala Iran, (ahi hikmah) sayyid jalal al din asytiyani memperjelas perbedaan antar dua mode ekspresi ini dengan ringkas : setelah memdengarkan Rumi tentang sebuah permasalahnkepada murid-muridnya, al qunawi bertanya kepadanya, “bagaimana mungkin dirimu memiliki kesanggupan untuk menjelaskan perkara metafisika yang sedemikian Rumit dan mendalam dalam bahasa penyampaian ynag sedemikian sederhana ?” Rumi menjawab, “bagaimana mungkin dirimu memiliki kesanggupan untuk membuat perkara yang sedemikian sederhana terdengar sedemikian rumit?”. [14]
Harus diingat pula bahwa tidak mungkin ada pertanyaan mengenai keterkaitan spiritual antara Rumi dan Ibnu Arabi dalam hubungan guru murid, mengingat masing-masing memiliki jalur silsilah yang dapat dibedakan secara jelas dan gamblang oleh karena itu, permasalahannya ada dalam terkaitan ajaran, yakni apakah Rumi mungkin meminjam formulasi tertentu dari Ibnu Arabi. Siapa pun yang membacanya akan menemukan kemiripan, tetapi kemiripan-krmiripan tersebut dapat dilacak pada sumber-sumber sebelum kehadiran Ibnu Arabi. Walaupun “perujukan pada karya-karya Ibnu Arabi acap muncul dalam banyak syarah Matsnawi yang terbit di india dan iran,” tidaklah tepat jika dikatakan “perlu kiranya terlebih dahulu membaca rujukan-rujukan itu jika kita ingin mempelajri makna spiritualitas maulan bagi para pengikut mistiknya.” Selama kehidupan Rumi sampai sultan walad, tidak pernah ada perujukan pada ajaran Ibnu Arabi demi menjelaskan Rumi. Contohnya, Daqa’iqul Haqa’iq karya Ahmad Rumi (ditulis pada 720H/1320M)menjelaskan banyak ajaran penting Rumi dalam cara yang relatif sistematis : tiap-tiap delapan puluh babnya dimulai dengankutipan dari al Quran atau hadits, yang dikuatkan dengan syair mulik pengarang sendri. Karya semacam ini memperlihatkan bahwa syair-syair Rumi tidak membutuhkan penjelasan melalui terminologi dan ide Ibnu Arabi. Kenyataannya, karya-karya Rumi “dapat menjelaskan dirinya sendiri,” terutama jika diiringi praktik yang bersesuaian dengannya. Lebih jauh lagi, jika Rumi sungguh seorang pengikut Ibnu Arabi, seharusnya ada diantara para pengikut Ibnu Arabi pada masa berikutnya yang mengutip karya-karya Rumi karena karya-karya ini sedemikian cocok untuk mengekspresikan banyak ajaran mereka. Namun, kenyataannya, tidak ada pengikut Ibnu Arabi yang menulis dalam bahsa Persia dan mengutip syair-syair Persia (contohnya, al Qunawi, Iraqi, Faraghani dan Jandi) yang pernah mengutip karya Rumi. Setidaknya, hal ini menjelaskan bahwa dalam pandangan mereka, perspektif mereka tidak sama dengan Rumi. 
Alasan utama para pen-syarah bersikukuh menginterprestasikan ide-idenya dengan menggunakan ajaran Ibnu Arabi adalah diskursus intelektual saat itu didominasi oleh mode ekspresi Ibnu Arabi. Maka, “menjelaskan” cara pandang Rumi serta dengan menerjemahkan idiom-idiom puitis dengan tamsil dan terminologi teknis yang khas ke dalam mode ekspresi yang lebih berkesan intelektual, yang sangat dipengaruhi oleh konsep dan peristilahan dari madzhab Ibnu Arabi. Tidak ada pertentangan fundamental antara kedua jenis spiritualitas ini, tetapi memindahkan bentuk ekspresi yang satu ke dalam yang lain sama saja dengan mengurangi kekayaan nuansa tertentu khususnya, spontanitas bentuk ekspresi pertama.
            Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa para pensyarah atau komentator karya Rumi merujuk pada ajaran Ibnu Arabi tidak berarti seluruh pengikut Rumi memahami dirirnya dalam sudut pandanga jaran tersebut. Kebanyakan komentar ditulis oleh para akademisi yang trelatih dalam ilmu-ilmu keislaman, yang “intelektual”. Namun, dari sebagian besar murid dari pelbagai tarekat-berdasarkan kenyataan bahwa mereka berangkat dari strata sosial yang berbeda akan cukup merasa puas kesusatraan itu belaka, tanpa merasakan kebutuhan “penjelasan”. Keindahan puisi ketika dilantunkan atau pun dinyanyikan sudah merupakan sebuah “komentar” yang cukup bagi muatan intelektualnya. Samapai hari ini, ketika tarekat-tarekat berkumpul di tempat-tempat, seperti di iran, dan mendengarkan pelantunan Matsnawi, setiap darwis mengapresiasi keindahannya, yang menjadikan muatan intelektual secara langsung dapat diserap. Namun, hanya sedikit yang tertarik pada penjelasan teknis tentang basis intelektual pemikiran Rumi.
Dapat ditekankan bahwa tidak terdapat bukti dalam karya-karya Rumi yang menunjukkan bahwa dirinya dipengaruhi oleh Ibnu Arabi atau al Qunawi. Bahkan, Hendry corbin, tokoh terkemuka di antara ahli yang mendalami literatur dan mengharmonikan dua mode ekspresi spiritualitas itu, tidak pernah menyatakan adanya saling pengaruh secara langsung, mengingat tidak ada terminologi asli Ibnu Arabi yang dapat dikemukakan dalam karya-karya Rumi.[15]





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Rumi lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 M. Mulanya Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al Balkhi Al Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Rumi merupakan pendiri tarekat Maulawiyah, yaitu tarekat asal Turki yang dikenal luas, baik di negeri Islam maupun Barat, melalui Whirling Darvish-nya. Kata Maulawiyah berasal dari kata Maulana yang berarti “guru kami” dan merupakan gelar yang diberikan murid-muridnya kepada Jalaluddin Rumi.
Kehidupan Rumi berubah sangat drastis setelah ia bertemu dengan sufi yang bernama Syamsi Tabrizi, meskipun Rumi sejak kecil sudah mengamalkan kehidupan zuhud dan kental dengan kehidupan ala sufi namun setelah bergaul dengan Syami Tabrizi ia baru memproklamirkan diri lebih mendalami lagi tentang spiritualitas tasawuf secara total. Karena keharmonisan hubungan antara keduanya itu menimbulkan kecemburuan di kalangan pengikut Rumi. Adapun sumber-sumber dari ajaran spiritual Rumi di ambil dari Al-Quran, Al-Hadist dan ajaran sufi-sufi terdahulu. Perjalan spiritualitas Rumi sangatlah panjang, ia hidup sezaman dan tinggal di Damaskus bersama ibnu arabi sehingga ajaranya memiliki kemiripan dan saling mempengaruhi.
B.    SARAN
Saran yang dapat penulis berikan adalah perlunya kita untuk mengenal tarekat ini agar kita bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam cara yang salah satunya seperti yng diajarkan pada tarekat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Ahmad Bangun. 2013. “Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman,dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi tokoh-tokoh Sufi)”. Jakarta : Rajawali Press.
Sayyed Hossein Nasr (ed). 1997. “Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi”. Bandung : Mizan.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4784 diakses pada hari Senin tanggal 4 April 2015



[1] Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman,dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi tokoh-tokoh Sufi), Rajawali Press, Jakarta, 2013, hal. 149-151
[2] Ibid, hal 153
[3] http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4784 diakses pada hari Senin tanggal 4 April 2015 15.40WIB
[4] Sayyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, Mizan, Bandung, 1997, hal 143.
[5] Ibid, hal 144.
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid, hal 145.
[9] Ibid, hal 146.
[10] Ibid,  hal 147.
[11] Ibid, hal 150.
[12] Ibid, hal 152.
[13] Ibid, hal 154.
[14] Ibid, hal 155.
[15] Ibid, hal 158.