Kamis, 04 Juni 2015

Fenomenologi Agama (Agama Kejawen)

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara aspek lahiriyah dan batiniyah. Nabi Muhammad SAW. diutus untuk menyampaikan risalah Islam. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap-sikap yang lebih menekankan salah satu dari dua aspek tersebut. Selain islam mengajarkan umatnya untuk menyeimbangkan kedua aspek tersebut, islam juga menjadikan keduanya hal yang sama-sama penting dalam menjalani kehidupan dunia.
Sebagai aspek yang sama-sama penting dalam ajaran Islam, telah terjadi pergeseran ke arah formalisme dan legalisme serba lahir yang menimbulkan reaksi serba batin. Orang-orang yang lebih mementingkan aspek-aspek syari’ah, persoalan halal-haram, intelektualisme-rasional, materialisme, dan legalisme, mewakili golongan lahiriah. Sementara bagi orang-orang yang lebih mementingkan rasa-hati, dan nilai-nilai batin, masuk dalam golongan batiniah. Tasawuf atau sufisme, berawal dari gerakan batiniah tersebut. Gerakan ini berusaha mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta dengan memanfaatkan media-media yang serba batin dan rahasia tersebut. 
Sebelum Islam datang ke Indonesia, agama Islam telah mengalami perkembangan yang gemilang. Dalam bidang penalaran, umat Islam telah sanggup mewarisi dan memanfaatkan pemikiran dan falsafah Yunani, untuk memperkuat perkembangan ijtihad, baik dalam hukum Islam, ilmu kalam, falsafah dan sebagainya. Dalam mistik Islam atau tasawuf, umat islam juga telah berhasil mengembangkan penghayatan dan pengalaman mistik yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam makalah ini, akan sedikit mepaparkan tentang apa, bagaimana dan contoh praktek-praktek mistik dalam islam kebatinan.
B.    Rumusan masalah
1.     Apakah yang dimaksud kejawen?
2.     Bagaimanakah seajarah dan pengaruh masuknya Islam di Jawa?
3.     Bagaimanakah ragam aliran dan mahdzab Islam masuk Jawa?
4.     Bagaimanakah mistis Jawa dalam Islam kebatinan?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kejawen
Kata  kejawen dalam kamus besar bahasa indonesia berasal dari kata kejawaan dan jawanisme, yang menjadi sebutan deskriptif bagi elemen-elemen kebudayaan jawa yang dianggap jawa secara hakiki dan hal itu didefinisikan sebagai suatu kategori yang unik. Jadi Kejawen adalah suatu faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Jawanisme atau kejawen lebih menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran jawa, Sehingga seketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam praktek beragama. Misalnya dalam praktek mistisisme, pada hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan yang mengarasi keanekaragaman religius. Misalnya, masyarakat di jogjakarta banyak yang menjalankan kewajiban agama islam secara sungguh-sungguh dan dari segi manapun mereka memenuhi nsyarat untuk disebut santri. akan tetapi, mereka tetap orang jawa yang membicarakan kehidupan dalam perspektif mitologi wayang, atau menafsirkan sholat lima waktu sebagain pertemuan pribadi dengan tuhan, banyak dari merekapun menghormati selametan sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting, atau sangat memulyakan kewajiban, menziarahi makam orang tua, dan leluhur mereka. Lebih dari itu, dalam pengertian etis, mereka akan menempa diri sama seriusnya dengan orang jawa yang mana saja untuk menjadi ikhlas, yakni ketulusan niat. Hal ini ada kaitannya dengan pemahaman jawa untuk sepi ing pamrih, yakni tidak diarahkan oleh tujuan-tujuan egoistik, menempatkan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri.
    Begitulah kejawen sejauh yang kita ketahui saat ini jelas-jelas merupakan sebuah produk dari pertemuan antara islam dengan peradaban jawa kuno, produk dari penjinakan, penundukan kerajaan-kerajaan jawa oleh kongsi dagang hindia timur (VOC), hasil dari pertemuan kolonial antara orang jawa dan belanda. Gesekan-gesekan itu, memaksa orang jawa untuk merenungkan keberadaan mereka dan yang lebih penting lagi, memecu konstruksi sebuah jati diri jawa. Refleksi dan konstruksi itu adalah buah dari pertentangan dengan liyan (othernes) sehingga lama kelamaan pertentangan-pertentangan pun berkembang, seperti santri >< abangan, jawa >< eropa, dan dunia timur oriental >< barat yang materialistik.
Sebagai sebuah sistem pemikiran, jawanisme atau kejawen itu cukup rumit dan luas meliputi:
a.Kosmologi berasal dari bahasa yunani yaitu kosmos yang berarti susunan atau ketersusunan yang baik. Kosmos merupakan dunia ( universe ). Orang Jawa memandang alam terdiri dari empat unsur, yaitu:
a)    Api merupakan emosi.  Contohnya di gunung berapi
b)    Air merupakan roh. Contohnya di pantai parang tritis
c)    Tanah merupakan dari mana kita (manusia) diciptakan.
d)    Angin merupakan perasaan.
e)    Kebudayaan Jawa mengajarkan hubungan yang harmoni antara makrokosmos (alam raya), mikrokosmos (alam manusia), dan metakosmos (kekuatan ghaib). Contohnya keraton jogja.
Hubungan antara mikrokosmos (jagat cilik) dengan makrokosmos (jagat gede) sangat erat. Masyarakat dahulu selalu menjaga ketertiban alam semesta (jagat gede) dengan melalui penjagaan terhadap jagat cilik (akhlak dan spiritual) manusia.

b.Mitologi adalah ilmu tentang mitos. Mitos adalah cerita suci berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan atas kodrati, manusia, pahlawan, dan masyarakat.
Ciri-ciri Mitos:
a)   Memiliki sifat suci atau sakral, karenanya terkait dengan tokoh  yang sering dipuja.
b)   Dijumpai dalam dunia mitos bukan dalam dunia kehidupan sehari-hari atau pada masa lampau yang nyata.
c)    menunjukan pada kejadian kejadian larangan tertentu.
d)    Kebenaran mitos tidak penting.

Macam-macam mitos :
1.     Mitos berupa gugoh tuton yaitu mitos yang berupa larangan-larangan tertentu.
2.     Mitos berupa bayangan asosiatif   yaitu mitos yang  biasanya muncul dalam dunia mimpi
3.     Mitos yang berupa dongeng, legenda, dan cerita-cerita yaitu mitos yang diyakini karena memiliki legitimasi yang kuat dalam alam pikiran masyarakay Jawa
4.     Mitos yang berupa sirikan yaitu mitos yang Bernafas asosiatif, tetapi tekanan utama pada aspek ora ilok.
Contoh mitos populer masyarakat jawa:
1.     Mitos Semar Tokoh satu ini selalu ditinggikan dalam segala hal yang menyangkut tata hidup kehidupan jawa
2.     Mitos Dewi Sri Dewi Sri oleh orang jawa diyakini sebagai dewa padi. Dia adalah pembawa berkah dalam bidang pertanian.
3.     Mitos Nyai Ratu Roro Kidul Patokan keraton Yogyakarta bahwa ratu kidul adalah sosok kekuaan magis yang patut dipuja.
4.     Mitos Aji SakaOrang jawa menganggap Aji Saka yang madhangake kawruh, artinya yang menaburkan kepandian kepada orang jawa
c. MistisismeKata mistisme berasal dari bahasa yunani yaitu mystikos yang artinya rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman. Sedangkan secara istilah mistisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya. Salah satu contoh upacara adat Jawa yang mengandung hal mistis adalah ruwatan. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu ghaib protektif,yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya, yang sering kali menggunakan mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dan bencana.

B.Islam Masuk Pulau Jawa
Tanah asal agama Islam adalah Arab, khususnya dari Madinah dan Mekah. Agama Islam menyebar keluar dari Jazirah Arab pada umumnya melalui jalur darat. Oleh karena itu, kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara baru tiga per empat milenium kemudian setelah agama ini lahir di Jazirah Arab. Agama Islam masuk Kepulauan Nusantara melalui perdagangan, dan bukan melalui misi pengembangan agama.
Agama Islam dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Persia (Iran sekarang), dan Gujarat (di pantai barat India). Perdagangan itupun tidak dibawa langsung dari Arab atau Persia ke P. Jawa, melainkan secara beranting dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya sampai di Malaka. Dari Semenanjung Malaka inilah akhirnya agama Islam sampai di Jawa, khususnya di sepanjang pesisir utara Jawa, dari Banten (di bagian barat P. Jawa) hingga Gresik (di bagian timur P. Jawa). Oleh karena itu, agama Islam yang masuk ke Kep. Nusantara ini merupakan produk sejarah masyarakat di negara-negara yang dilaluinya selama 750 tahun -termasuk pergulatan antar pemeluk ajaran Islam di tanah kelahirannya.
Pedagang-pedagang yang berasal dari Arab, Persia dan Gujarat itu pada umumnya memeluk agama Islam yang beraliran Syi’ah, karena sejak permulaan abad XII aliran ini berkembang di Persia dan Hindustan. Selain itu, aliran ini mendapat dukungan dari pemerintahan Bani Fathimiyah di Mesir yang berpegang pada aliran Syi’ah. Pada pertengah abad XIII (1268) dinasti Fathimiyah jatuh, sehingga dukungan terhadap aliran Syi’ah tidak ada lagi. Namun, Persia dan Hindustan ternyata merupakan tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya aliran ini.
Meskipun agama Islam telah memperoleh tempat baru yang subur di Semenanjung Malaka dan Sumatra pada abad XIII, tapi agama ini baru bersemi di pesisir utara Jawa pada abad XV. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Ma Huan dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405 – 1406, agama Islam belum tampak dipeluk oleh penduduk asli di P. Jawa, dan yang mereka laporkan adalah agama dan adat-istiadat Jawa.
Tuban dan Surabaya sebagai kota pelabuhan strategis, pada abad XV menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni oleh keturunan Tionghoa. Agar hubungan dagang antara Tiongkok daratan dengan Jawa lancar, maka diangkatlah kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423 dan di Surabaya pada 1447. Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal di Tuban, dan mereka juga banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat setempat. Dan, menurut Ma Huan, kebanyakan penduduk Cina yang tinggal di kota-kota ini memeluk dan menaati aturan agama Islam.
Jadi, bila di awal abad XV masyarakat asli masih memeluk dan mempraktikkan adat-istiadat Jawa, namun pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad XV Pemerintah Tiongkok memihak pada Pemerintah Kerajaan Majapahit meski keadaan di Majapahit mulai goyah karena perebutan kekuasaan dari dalam. Juga dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh masyarakat setempat.
Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah Raden Patah (bentuk keliru dari Fatah yang berarti Wijaya). Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri-sendiri. Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama ageming aji. Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan dharma ajaran Islam.

C.  Ragam Aliran dan Mazhab Islam yang Masuk Jawa
Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa aliran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat adalah aliran Syi’ah. Dan, tampaknya aliran ini cukup lama bertahan di Nusantara, dan di Jawa khususnya, sehingga peninggalan aliran ini masih dilestarikan hingga sekarang di berbagai daerah di luar maupun di Jawa. Pembuatan bubur Suro pada tanggal 10 Suro (Muharram) di berbagai daerah merupakan wujud nyata warisan aliran Syi’ah. Berbagai upacara adat untuk memperingati Imam Husain di bebagai daerah di Jawa juga merupakan peninggalan Syi’ah.
Aliran Syi’ah juga terdiri dari banyak subsekte atau mazhab-mazhab, dari yang sangat berorientasi pada syariat hingga yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Dan, kelihatannya golongan Syi’ah yang dapat dengan mudah bertemu dengan pandangan dan dharma yang dijalankan oleh orang Jawa adalah Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula klawan Gusti. Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan sinar Ilahi. Ajaran inilah yang “klop” dengan dharma yang dilakukan oleh orang Jawa yang memandang manusia sebagai “titah” (sabda) Sang Hyang Taya atau Tuhan yang tidak dapat digambarkan seperti apa pun seperti yang dinyatakan dalam Qs. 41:11.
Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi- namun sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu menjalankan ajaran Islam Syiah. Oleh karena Syekh Siti Jenar sebagai guru agama yang termasyhur diduga oleh penguasa Demak sebagai pengikut Aliran Syi’ah, maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (dharma Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patah semakin menguat.
Alasan lain untuk mengeliminasi Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging (penguasa daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam kelanjutan tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya. Ajaran Syekh Siti Jenar ini mempunyai pengaruh besar di masyarakat Islam di Jawa -khususnya Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih muda umurnya itu. Jadi, sebenarnya bukan ajaran Syekh Siti Jenar itu yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran MKG (Manunggaling Kawula-Gusti). Contohnya, sampai hari ini makrifat MKG yang berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.
Di era pasca kemerdekaan ajaran MKG dari Sunan Kudus ini disebarluaskan oleh Ki Ageng Nitiprana (wafat 23 Desember 1991). Dewasa ini ajaran MKG dari Sunan Kudus tersebut disebarkan dalam tiga sistem, yaitu sistem MKG yang dibungkus syariat, sistem MKG yang menekankan ajaran hakikat, dan sistem MKG yang diajarkan melalui lintas agama. Ketiganya berkembang di Jakarta dan dari ibu kota NKRI ini menyebar ke seantero Nusantara. Berbeda dengan MKG yang berasal dari Sunan Kudus, ajaran MKG dari Syekh Siti Jenar diajarkan melalui kelompok-kelompok kecil yang sifatnya tertutup atau agak tertutup. Bahkan kelompok-kelompok itu tidak menggunakan wadah yang secara terbuka dilabeli ajaran MKG Syekh Siti Jenar. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka menghindari sensitivitas masyarakat sekitarnya.
Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam mazhab Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.
Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar yang egaliter dan berpegang pada pluralisme dalam dharma itu dibasmi habis-habisan, namun pergulatan ajaran yang disebut Islam Jawa ini tetap eksis di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga yang di satu sisi sebagai penasihat Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun di sisi lain dia adalah guru bagi Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya dapat mendirikan Kesultanan Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Amartani.
Keahlian politik Ki Juru Amartani yang akhirnya dapat mengembalikan kelanjutan tahta Majapahit (yang di kemudian hari menjadi Mataram Islam)  dengan masa transisi Kesultanan Pajang di bawah Sultan Adiwijaya. Dengan kata lain, runtuhnya Kesultanan Demak merupakan bangkitnya kembali dharma Islam yang di kemudian hari dikenal sebagai Islam Kejawen atau Kejawen. Namun, jalannya sejarah ternyata tidak mulus dan bahkan menghadapi jalan-jalan terjal. Mataram yang baru tumbuh itu dihadapkan pada banyaknya kadipaten yang masih setia pada Kesultanan Demak, sehingga Mataram muda disibukkan dengan penaklukan Demak, Madiun, Kediri, Pasuruan dan Gresik.
Pada 1613 Raden Mas Rangsang ditabalkan sebagai sultan di Mataram dengan gelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Saidin Panatagama, yang juga dijuluki sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Beberapa tahun sebelum dia diangkat sebagai sultan, tepatnya pada 1611, Gubernur Jendral Both (Belanda) memperoleh sebidang tanah dari Pangeran Jayakarta. Pada 1619 Jan Pieters Zoon Coen berhasil membangun benteng di Jayakarta dan daerah tersebut diubah namanya menjadi Batavia. Setelah Sultan Agung dapat menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah kekuasaan Mataram pada 1628, maka Belanda yang bercokol di Batavia dianggapnya sebagai ancaman kedaulatan Mataram. Upaya Sultan Agung menaklukkan Batavia pada 1628 dan 1629 gagal.
Setelah gagal menaklukkan Batavia, Sultan mencoba melakukan konsolidasi ke dalam dan mencoba mempertemukan berbagai aliran dan mazhab Islam di Jawa. Salah satu upaya tersebut ialah diubahnya kalender Jawa Saka yang berdasarkan peredaran Matahari menjadi kalender Jawa Islam yang berdasarkan peredaran rembulan. Perubahan perhitungan tahun ini dilakukan pada 8 Juli 1633 dan bertepatan dengan 1 Suro 1555 tahun Alif. Selanjutnya, perhitungan didasarkan pada 1555 JI tersebut. Sultan Agung banyak melakukan akulturasi dan asimilasi budaya spiruitual.
Ketika Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung, Belanda (VOC) tidak berani turut campur terhadap Mataram. Namun, VOC telah melakukan penaklukan dan pendekatan terhadap raja-raja yang belum tunduk pada kekuasaan Mataram. Ketika Sultan Agung wafat pada 1646, dan digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat I, VOC melakukan perjanjian damai dengan Mataram. Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada tahun 1646 itu, VOC berjanji akan membantu Mataram bila Mataram berperang dengan pihak yang menjadi musuh Kompeni.
Akhirnya, sejak permulaan abad XVIII Mataram benar-benar jatuh ke tangan Kompeni dan praktis semenjak Sunan Amangkurat II raja-raja Mataram berada di bawah kekuasaan Kompeni. Di lain pihak Batavia terus berkembang pesat, dan masyarakat Arab dan Cina di Batavia mendapatkan perlindungan yang kuat. Dengan demikian, orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji benar-benar berada di bawah pengawasan Belanda. Sejak abad XVIII Aliran Islam mazhab Syafii yang dibawa oleh jemaah haji dari Jawa semakin menyebar di seantero P. Jawa. Sebagaimana dungkapkan di atas, ajaran Islam mazhab Syafii mudah bertemu dengan pola pikir Jawa.
Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga Keraton Surakarta abad XVIII, melukiskan ketegangan dalam kehidupan keagamaan orang-orang Jawa setelah adanya kontak dengan orang-orang Islam pembela syariat. Salah satu contoh karya tulis R. Ng. Yasadipuro I yang menggambarkan konflik dalam kehidupan beragama itu adalah Serat Cabolek. Dalam serat ini dilukiskan adanya konflik antara ulama pembela syariat Islam dengan mereka yang menolak ajaran syariat Islam sembari tetap memegang ajaran mistik Jawa. Tokoh sentral dalam serat ini adalah Ketib Anom dari Kudus yang membela syariat dan Haji Ahmad Mutamakin yang tinggal di Cabolek, Tuban, yang mengajarkan ilmu hakikat. Pada waktu itu ulama di Keraton Kartasura pro syariat, yang sebenarnya Haji Mutamakin bisa mengalami nasib yang sama yang dialami Syekh Siti Jenar maupun Sunan Panggung; namun Sunan Pakubuwana II memaafkannya.

D.  Pengertian  mistik dan islam kebatinan
Kata mistik berasal dari bahasa Greek (Yunani) “ Mysticos” yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman.[1][1] Sedangkan dalam bahasa Arab, Persia dan Turki, kata mistik itu bahasa yang utama dalam islam, yang berkaitan dengan istilah sufi. Kedua istilah itu memang tidak mengandung arti yang sama. Sebab istilah sufi memiliki konotasi  yang religius dan khas. Dan biasanya digunakan secara terbatas yakni  untuk menyebut mistik yang dianut oleh para pemeluk agama islam.[2][2] Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “mistik” artinya hal-hal gaib yang terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata.[3][3]
Bertitik tolak dari arti kata tersebut kemudian mistik berkembang menjadi sebuah paham, yaitu mistisisme (paham mistik). Mistisisme sebagai paham dapat dikatakan sebagai paham yang memberikan ajaran mistis, ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kelemahan. Ajaran-ajarannya hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama para penganutnya.[4][4] Van Haeringen barpendapat bahwa paham mistik itu pada dasarnya mengajarkan kepercayaan adanya kontak antara manusia bumi dengan Tuhan, persatuan mesra antara ruh manusia dan Tuhan. Ini berarti mistik mengajarkan kepada hal-hal yang rahasia dan hal-hal yang tersembunyi.
Sedangkan mistisisme menurut A.S.Hornby yaitu ajaran atau kepercayaan bahwa hakekat iman dan Tuhan dapat dicapai melalui meditasi atau pancaran spiritual, terlepas dari pikiran dan akal sehat.
Paham mistik ditinjau dari materi ajarannya terdiri dari dua macam paham, yaitu:
1.   Paham yang bersifat keagamaan, adalah mengajarkan tentang mistik yang berkaitan dengan Tuhan dan Ketuhanan-Nya, hubungan atau persatuan antar manusia dengan Tuhan.
2.   Paham non keagamaan, adalah tidak mengajarkan tentang pengertian Tuhan dan Ketuhanan-Nya. Paham ini lebih menekankan pada ajaran tentang sopan santun, akhlak atau etika. Selain itu juga mengajarkan tentang pengobatan dengan gaya-gaya ghaib, peramalan nasib atau pernujuman, kekebalan atau kesaktian.[5][5]
Sedangkan kata kebatinan berasal dari bahasa Arab “ba-tin” yang artinyadi dalam, bagian dalam. Dalam bahasa Indonesia mendapat imbuhan ke – an, jadi kebatinan, artinya bagian yang tertutup yang berada  di dalam.[6][6] Ditinjau dari makna, kebatinan mempunyai bermacam-macam pengertian, yaitu:
1.   Di dalam “Ensiklopedia Umum”Kebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
2.   Di dalam buku ‘Ensiklopedia Pendidikan” karya Prof. DR. Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Kebatinan adalah sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[7][7]
Maka dari itu, islam kebatinan adalah islam yang bersifat dan yang menonjolkan aspek-aspek batiniyah.

E.   Mistik jawa dalam islam kebatinan
Pengertian mistik jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan jawa. Mistik jawa merupakan sikap hidup keagamaan orang jawa, karena kenyataannya mistik jawa dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi semacam agama orang jawa yang bersifat mistik. Adapun mistik jawa dalam islam kebatinan yaitu mistik yang dilakukan seseorang untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan Allah SWT. yang dilakukan dengan cara tertentu sesuai dengan tradisi jawa dan syari’at islam yang tujuan utamanya adalah bisa berkomunikasi dan mencapai maqam tertentu di sisi Allah SWT.
Lahirnya pustaka islam kejawen atau islam kebatinan membawa dampak yang cukup besar bagi perkembangan keagamaan masyarakat jawa. Ajaran tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat Jawa. Pustaka jawa yang merupakan cermin pengolahan jawa atas mistik yang datangnya dari luar, baik itu Hindu-Budha atau Islam semua mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan.
Mistik jawa dalam islam kebatinan terlihat dalam sikap hidup orang jawa yang menekankan pada hidup batin, seperti: sikap rela, narima, legawa, waspada, sabar, eling, dan seterusnya. Sikap hidup tersebut hampir diajarkan oleh semua aliran kebatinan. Selain itu juga, terdapat paham kesatuan kawula-Gusti (wahdatul wujud) yang merupakan pengaruh ajaran mistik islam yang hampir semua aliran kebatinan mengajarkannya.
Kebatinan atau kejawen merupakan salah satu varian dari agama islam yang ada di Jawa, kebatinan merupakan sinkretis antar unsur-unsur pribumi jawa, Hindu-Budha dan Islam. Ritus mistik orang jawa adalah slametan, suatu perjamuan sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan diantara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Slametan merupakan nilai sakral bagi masyarakat Jawa, dilakukan sejak menyambut kelahiran bayi, khitanan, pernikahan sampai orang meninggal. Slametan yang pada masa pra-islam banyak menggunakan tradisi mistis mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, setelah islam datang, banyak cukup dengan do’a-do’a yang dipanjatkan seorang rais (modin) dan bacaan-bacaan ayat al-Qur’an dianggap telah syah.[8][8]
Contoh ritual atau praktek-praktek yang bersifat mistik dalam islam kebatinanMistik jawa dalam islam kebatinan menganjurkan laku spiritual untuk mencapai maksud, tujuan atau cita-cita. Menurut Ranggawarsita ada beberapa ritual atau praktek-praktek untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.   Tapa atau semedi
Adalah penarikan diri sementara dari minat kepada dunia lahir, yang caranya adalah duduk lurus berdiam diri mutlak dan mengosongkan diri dari semua isi dunia sejauh mungkin.[9][9] Dalam bertapa mempunyai beberapa makna, yaitu:
a.    Laku prihatin. Ciri laku spiritual ini adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani spiritual ini, tidak akan pernah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa bertapa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh.
b.   Bertapa sebagai sarana penguatan batin. Dalam hal ini bertapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu berkomunikasi dengan yang ghaib-ghaib. Intrpretasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam dunia tasawuf. Jalan mistik sebagaiman lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Illahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan Yang Benar.
c.    Bertapa sebagai ibadah. Bagi Ranggawarsita yang menjalankan syari’at islam, puasa seperti ini dijalankan dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah islam dalam bentuk syari’at, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.[10][10]
Dari penjelasan makna tapa atau semedi di atas, ada beberapa jenis atau macam dari tapa atau semedi, diantaranya yaitu:
a) Tapa ngeli, yaitu bertapa dengan menghanyutkan diri di air. Tujuannya untuk meraih maqom tertentu.
b) Tapa ngrame, yaitu bertapa dengan siap berkorban atau menolong siapa saja dan kapan saja. Tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan kedilan dan beramal sosial.
c) Tapa mendem, yaitu bertapa dengan menyembunyikan diri di dalam tanah seperti mayat. Tujuannya adalah untuk menghayati mati sajroning urip.
d) Tapa kungkum, yaitu bertapa dengan menenggelamkan diri dalam air sebatas leher di sungai atau danau tertentu. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
e) Tapa gantung, yaitu bertapa dengan menggantung di pohon seperti kera. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.[11][11]
2. Pasa
Menurut Ranggawarsita kata “ pasa” hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa, karena pelaksanaan tapa selalu  dibarengi dengan pasa. Adapun pasa adalah Menahan diri dari rasa lapar dan haus serta berprilaku prihatin.Dalam pemaknaan pasa dalam masyarakat jawa tidak jauh berbeda dengan pemaknaan tapa, yaitu Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik, puasa sebagai sarana penguat batin dan puasa sebagai ibadah.
Adapun macam-macam pasa adalah sebagai berikut:[12][12]
a.   Pasa ramadhan, yaitu puasa wajib dalam bulan ramadhan. Tujuannya untuk memebersihkan diri dari dosa dan mencapai derajat taqwa.
b.   Pasa ngerawat, yaitu berpuasa hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam. Tujuannya agar rohani kita kuat Dan punya kekuatan magis.
c.   Pasa pati geni, yaitu berpuasa dengan berpantang makan-makanan yang dimasak memakai api atau geni selama sehari-semalam. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
d.   Pasa ngebleng, yaitu berpuasa dengan tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
e.   Pasa mutih, yaitu berpuasa dengan hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut. Tujuannya untuk meraih maqom rohani tertentu.
 

DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo Doyodipuro, KRHT, Horoskop Jawa, Semarang: Dahara Prize, 2006.
Magnis-Suseno SJ, Franz, ETIKA JAWA Sebuah analisa Falsafi tentang kebijaksanaan hidup jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Mulder Niels, Mistisme Jawa: Ideologi di Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS Prinding Cemerlang, 2001.
Maulfi Syaiful Rizal, Pandangan Dunia Jawa, http://Pandangan-dan-Mitologi Jawa. Diakses Senin,1 Maret 2013 pukul 19.00 Ramadhan, Ruwatan,
http://worldmysteryhouse.blogspot.com/2010/08/ruwatan.html, diakses Rabu, 3 Maret 2012 pukul 2:22



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar